Jakarta, Aktual.com – Beberapa waktu lalu PT Pertamina (Persero) dan Pacifico menandatangani perjanjian pembelian 24,53% saham Pacifico di Maurel & Prom. Saham yang terdaftar di Bursa Perancis tersebut, dibeli Pertamina dengan harga EUR 4,20 per saham, ditambah premium sebesar EUR 0,5 per saham. Pembayaran premium dapat dilakukan apabila pada kurun waktu 1 Januari 2017 hingga 31 Desember 2017, harga minyak mentah Brent stabil di atas USD65 per barel sepanjang 90 hari kalender berturut-turut. Penyelesaian transaksi tersebut bergantung pada persetujuan regulator dan otoritas terkait.
Direktur Eksekutif Center of Energy and Resources Indonesia (CERI), Yusri Usman mempertanyakan maksud dibalik transaksi saham perusahaan minyak tersebut, mungkinkah Dirut Pertamina ingin tunjukkan prestasi, atau ada titipan misi untuk cari dana 2019.
“Saya melihat bahwa upstream business development (UBD) Pertamina hulu mungkin tidak mengerti transaksinya. Mengapa yang dibeli bukan controlling companynya, akan tapi holdingnya yang harga sahamnya merosot terus. Mestinya yang dibeli kan assetnya langsung,” ujar Yusri di Jakarta, Selasa (2/8).
Lebih lanjut dikatakan, jumlah saham yang diyakini bisa dibeli maksimal 30%. Sedangkan saham sebesar 30% ini dipertanyakan kemampuannya sebagai controlling atas asset perusahaan. Menurutnya, hal tersebut Aneh pasalnya, pembelian saham secara normal di atas 50 persen baru bisa melakukan controlling.
“Untuk mencapai kontrol dari 24,5 persen, maka kekurangan sebesar 30 persen harus beli saham lainnya dari institusi, lembaga lain, juga dari pasar langsung,” jelasnya.
Keanehan lainnya adalah kementerian BUMN sebagai pemegang saham menyetujui rencana yang sebenarnya telah didiamkan sejak beberapa tahun lalu. Padahal Pertamina hanya mengambil 24,5 % saham pada lapangan yang produksinya baru mencapai 30.000 BOPD. Capaian sekitar 6.000 BOPD kalau hitungan kasar Pertamina membeli asset.
“Mengapa Pertamina tidak fokus terlebih dulu mengambil alih blok-blok migas produksi dalam negeri yang kontrak PSC nya sudah akan berakhir di tahun 2016, 2017, 2018 (Blok SES, Blok South Natuna sea B, Blok East Kalimantan dan Blok Ogan Komering serta Blok Corirdor , Bertak, Bijak Ripah serta blok Onshore Salawati Basin), ungkapnya.
Walaupun direksi berlindung dibawah kebijakan menjamin pasokan minyak dalam negeri dengan tema “ketahanan energi”, tetapi menjadi aneh ketika dikaitkan Pertamina di blok Mahakam yang sharedown 30% karena alasan keterbatasan pendanaannya.
“Aneh, karena keterbatasan dana, Pertamina di blok Mahakam memiliki 60 persen saham, memberikan sharedown 30% ke Total Indonesia,” pungkasnya.
Artikel ini ditulis oleh:
Eka