Perhatian umat Islam terlalu banyak difokuskan ke masalah politik akhir-akhir ini. Momen pemilihan kepala daerah (Pilkada) DKI Jakarta, 19 April ini, juga pastilah menyita banyak perhatian mereka. Namun, sebenarnya yang harus serius digarap jika ingin meningkatkan kesejahteraan umat adalah ekonomi Islam.
Tanpa banyak publikasi, sebenarnya pengembangan ekonomi Islam, ekonomi yang berbasis syariah, terus berlangsung. Termasuk di Indonesia saat ini. Kita sudah sering mendengar perbankan syariah dan asuransi syariah. Tapi mungkin kita jarang membahas akuntansi syariah.
Padahal akuntansi syariah adalah elemen penting dari ekonomi Islam. Akuntansi itu bukan sekadar teknis pencatatan menggunakan pendekatan debet kredit. Akuntansi lebih dari sekadar masalah teknis seperti itu.
Akuntansi adalah sebuah sistem atau subsistem dari sistem yang lebih besar, khususnya sistem ekonomi dan/atau bisnis. Karena, akuntansi merupakan sebuah (sub-)sistem, akuntansi mempunyai paradigma.
Paradigma inilah yang membedakan akuntansi syariah dengan akuntansi konvensional. Sementara, untuk aspek teknis, mungkin saja akuntansi syariah menggunakan teknik yang juga dipakai akuntansi konvensional.
Akuntansi syariah, terkadang disebut akuntansi Islam, adalah akuntansi yang berparadigma syariah (Islam). Artinya, akuntansi syariah adalah sebuah instrumen atau subsistem untuk mengimplementasikan ajaran Islam, khususnya dalam bisnis.
Maka, tujuan akuntansi syariah harus konsisten dengan tujuan syariat Islam (maqashid syarii’ah), yang berujung pada kebahagiaan umat manusia secara hakiki, baik material maupun spritual.
Oleh karena itu, akuntansi syariah mengedepankan prinsip: persaudaraan (ukhuwah), yang menjunjung tinggi nilai kebersamaan dalam memperoleh manfaat (sharing economy).
Juga, prinsip keadilan (‘adalah), yang implementasinya adalah tidak menoleransi riba, kezaliman, judi, dan spekulasi (maysir), ketidakjelasan (gharar), dan bisnis barang atau jasa haram.
Lalu, prinsip kemaslahatan (maslahah) dalam upaya pencapaian tujuan ditetapkannya syariah (melindungi akidah, akal, keturunan, jiwa, dan harta benda).
Berikutnya, prinsip keseimbangan (tawazun) aspek material dan spiritual, privat dan publik, sektor keuangan dan riil, bisnis dan sosial, serta pemanfaatan dan pelestarian (misalnya, dalam hal sumber daya alam).
Terakhir, prinsip universalitas (syumuliyah), yang mempertimbangkan berbagai pemangku kepentingan, untuk mewujudkan kesejahteraan alam semesta (rahmatan lil alamin).
Menurut Guru Besar Akuntansi FEB UGM, Prof. Mahfud Sholihin, dalam wawancara dengan Republika (16 April 2017), sebagai konsekuensi atas paradigma syariah ini, standar-standar asuransi syariah yang dikembangkan tidak boleh bertentangan dengan syariah.
Kita lihat, dalam operasionalisasinya, pengembangan standar-standar akuntansi syariah yang dilakukan oleh Dewan Standar Akuntansi Syariah (DSAS) Ikatan Akuntan Indonesia, selalu berkonsultasi dengan Dewan Syariah Nasional (DSN). Ini dimaksudkan agar standar akuntansi syariah yang dikembangkan tetap dalam koridor dan bingkai syariah.
Jika kita perbandingkan, akuntansi konvensional secara historis tidak bisa dipisahkan dari paradigma kapitalisme, dengan karakteristik utama: kepemilikan privat, akumulasi kapital atau modal, dan persaingan bebas.
Akuntansi konvensional memisahkan antara agama dan sistem kehidupan bermasyarakat, termasuk sistem muamalah (bisnis). Dalam akuntansi konvensional, agama tidak menjadi dasar atau rujukan dalam penyusunan Standar Akuntansi.
Selain itu, karena tidak adanya konsep agama yang mendasari aktivitas bisnis, pengembangan akuntansi konvensional lebih menekankan maksimisasi keuntungan (profit maximization).
Maksimisasi keuntungan ini bertentangan dengan semangat nilai-nilai Islam, yang mengedepankan kemaslahatan umat manusia.
Perkembangan akuntansi syariah di Indonesia secara sistematis pada awalnya tidak dapat dipisahkan dari berdirinya bank syariah pertama di Indonesia, yaitu Bank Muamalat Indonesia (BMI) pada 1991 dan keberadaan Undang-Undang No. 7 tahun 1992 tentang perbankan.
Setelah berdiri, ada masalah karena BMI adalah bank Islam, tetapi laporan keuangan yang dibuat bukan berdasarkan akuntansi syariah.
Selain itu, keberadaan BMI juga memerlukan pengawasan dan pengauditan terhadap produk-produk bank sariah. Faktor-faktor itulah yang menggarisbawahi pentingnya pengembangan teori dan praktik akuntansi syariah. ***
Artikel ini ditulis oleh: