Manusia pada dasarnya ingin diakui, dikenal, mahsyur, terpandang, paling hebat, dan semacamnya. Manusia memilki ego untuk dikenal sebagai orang yang memiliki kemampuan di atas manusia lainnya.

Disinilah maksud dari Ibnu Athaillah dalam mendidik jiwa seorang salik agar dapat mengontrol ego jiwa itu dalam ruang ketawadhuan. Bahkan Ibnu Ajibah memberikan pengertian yang lebih dalam lagi: Khumul adalah kondisi di mana seorang salik sama sekali tak dianggap orang lain (suquth al-manzilah ‘inda al-nas).

Dalam kehidupan para sufi, banyak kita temukan mereka tidak menampakkan kesolehan dhahirnya, mereka tampak kumal, tidak memakai ‘atribut-atribut’ kesalehan, berpakaian sederhana, tidak tampak seperti kiyai atau ulama besar atau tidak mau dipanggil dengan gelaran-gelaran kehormatan; Kiyai; Habib; dll. Hal tersebut demi menjaga kebersihan niat dan hatinya agar tidak condong kepada selain Allah SWT.

Ini bukan berarti seorang ulama/salik tidak diperkenankan untuk memakai pakaian yang bagus dan terhormat, namun ini tergantung dari kondisi hati dan jiwa si salik tersebut untuk menempatkan niatnya.

Sayyid Muhammad bin Alawi al-Malliki al-Hasani (seorang ulama Ahlussunnah wal Jamaah Makkah) pernah ditanya oleh muridnya kenapa selalu berpakaian bagus dalam kesehariannya? Beliau menjawab bahwa sikap seperti ini tidak lain hanyalah untuk menghormati ilmu yang ia miliki.

Artikel ini ditulis oleh:

Andy Abdul Hamid