Jakarta, Aktual.com — Alasan Business to Business (B to B) yang dikemukakan oleh pemerintah dalam proyek pembangunan kereta cepat Jakarta-Bandung 142 Km dengan biaya USD5,5 miliar adalah upaya mengelabuhi rakyat.
Pengamat Transportasi Darmaningtyas mengatakan, dengan alasan B to B pemerintah ingin ‘meninabobokkan’ rakyat biar seolah-olah tidak ada resiko atas kereta cepat. Padahal, B to B telah menyeret Indonesia kepada krisis tahun 1997/1998 karena besarnya utang swasta.
“Pemerintah harus melihat kejadian 97/98 akibat utang swasta sangat besar. Pemerintah jangan membodohi rakyat,” katanya dalam diskusi yang diselengarakan oleh Partai Rakyat Demokratik (PRD) di Jakarta, Kamis (11/2).
Selain itu, akibat pembangunan tersebut dibiayai melalui dana pinjaman dalam bentuk dollar, maka hal ini akan mengancam devisa negara. Pasalnya devisa akan terkuras untuk membayar utang dalam mata uang asing.
Selanjutnya, kalau kereta cepat tersebut mangkrak dan bisnisnya tidak berjalan dengan baik, maka yang akan menanggung kerugian adalah negara. Pasalnya, tidak mungkin pemerintah membiarkan kereta tersebut terbengkalai.
“Jadi saya tidak mau ditipu pemerintah dengan berdalih bahwa itu B to B, pemerintah menipu rakyat,” pungkasnya.
Disisi lain, berdasarkan data Bank Dunia pada Desember 2015 menyebutkan utang yang sudah diterima pemerintah Indonesia dalam tahun 2015 mencapai Rp510,4 triliun dari penerimaan sekuritas, sedangkan dari pinjaman resmi luar negeri Rp53 triliun.
Posisi utang Indonesia baik dari dalam maupun luar negeri hinga 31 Desember 2015 sebesar Rp3.021 triliun, meningkat dari Rp2.608 triliun. Pemerintah telah menambah utang senilai Rp412,52 triliun sepanjang tahun 2015.
Bedasarkan keterangan Kepala Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas), Sofyan Djalil bahwa, pada tahun ini pemerintah kembali melakukan pinjaman luar negeri sebesar USD 150 juta atau Rp 2,02 triliun untuk mendorong pembangunan infrastruktur di Indonesia.
Artikel ini ditulis oleh:
Dadangsah Dapunta
Eka