Jika kita mencari nama seorang ahli tafsir, filsuf, teolog, ahli ushul, faqih dan Islamolog besar dari Iran, maka akan muncul nama Sayid Muhammad Husain Thabathaba’i. Ia terkenal dengan nama Allamah Thabathaba’i (1904 -1981). Ia adalah ulama Syiah yang paling berpengaruh dalam wacana pemikiran dan mazhab di Iran pada zamannya.
Thabathaba’i adalah penulis Tafsir Al-Mizan, dan kitab-kitab filsafat: Bidayah al-Hikmah, Nihayah al-Hikmah, Ushul Falsafah wa Rawisy Falsafah. Thabathaba’i di hauzah ilmiyah Qom memberikan pelajaran tafsir al-Quran dan filsafat. Metode penafsirannya adalah Tafsir al-Quran bi al-Quran.
Thabathaba’i mengadakan pertemuan mingguan dengan murid-murid, khususnya mengajar pokok-pokok pelajaran Mulla Shadra dan Hikmah Muta’aliyah. Sangat banyak para pengajar filsafat pada masa selanjutnya yang merupakan murid-muridnya.
Murid-muridnya seperti Muthahhari, Jawadi Amuli, Mishbah Yazdi dan Behesyti termasuk ulama yang paling berpengaruh dan terkenal di Iran. Pertemuan-pertemuan ilmiahnya dengan Henry Corbin, filosof Perancis dan pakar Syiah asal Perancis merupakan jalan pembuka untuk mengenalkan Syiah di Eropa.
Thabathaba’i lahir di Syad Abad, Tabriz pada 1903. Para leluhurnya hingga empat keturunan merupakan para ilmuwan dan sarjana pandai. Para kakek Allamah Thabathaba’i merupakan anak-anak Imam Hasan Mujtaba As. Ibu Thabathaba’i meninggal pada saat ia berusia 5 tahun. Pada saat usianya 9 tahun, ayahnya juga meninggal. Saudaranya yang lebih muda adalah Sayid Muhammad Hasan terkenal dengan Sayid Muhammad Hasan Ilahi.
Setelah menamatkan jenjang pendidikan dasar, pada usia 20 tahun, ia bertolak menuju pusat ilmu, kota suci Syiah, Najaf. Di Universitas Najaf, ia mempelajari syariat dan ushul al-fiqh dari dua di antara syaikh-syaikh terkemuka masa itu, yaitu Mirza Muhammad Husain Na’ini dan Syaikh Muhammad Husain Isfahani. Namun menjadi mujtahid bukanlah tujuannya.
Thabathaba’i lebih tertarik pada ilmu-ilmu aqliah, dan mempelajari dengan tekun seluruh dasar matematika tradisional dari Sayyid Abul Qasim Khwansari. Ia juga belajar filsafat Islam tradisional, termasuk naskah baku asy-Syifa karya Ibnu Sina dan al-Asfar karya Sadr al-Din Syirazi serta Tamhid al-Qawa’id karya Ibnu Turkah dari Sayyid Husain Badkuba’i.
Thabathaba’i juga mempelajari ‘ilm Hudhuri (ilmu-ilmu yang dipelajari langsung dari Allah SWT), atau ma’rifat, yang melaluinya pengetahuan menjelma menjadi penampakan hakikat-hakikat supranatural. Gurunya, Mirza Ali Qadhi, yang mulai membimbingnya ke arah rahasia-rahasia Ilahi, dan menuntunnya dalam perjalananan menuju kesempurnaan spritual.
Sebelum berjumpa dengan Syaikh ini, Thabathaba’i mengira telah benar-benar mengerti buku Fushulli al-Hikam karya Ibnu Arabi. Namun, ketika bertemu dengan Syaikh besar ini, ia baru sadar bahwa sebenarnya ia belum tahu apa-apa.
Berkat sang Syaikh ini, tahun-tahun di Najaf tak hanya menjadi kurun pencapaian intelektual Thabathaba’i. Melainkan juga kezuhudan dan praktik-praktik spiritual, yang memampukannya untuk mencapai keadaan realisasi spritual.
Thabathaba’i selama 10 tahun berada di Najaf. Karena mengalami kesulitan ekonomi dan tidak tercukupinya kebutuhan hidup dari hartanya di Tabriz, ia terpaksa kembali ke Iran dan selama 10 tahun sibuk bertani di desa Syad Abad Tabriz. Selama masa ini, tidak ada laporan mengenai kesibukan belajar atau mengajarnya.
Pendidikan Thabathaba’i tidak terbatas pada tingkat standar fikih, tetapi juga menempuh pendidikan yang paling mendalam dalam tata bahasa dan sastra Arab dan fikih. Ia menyelesaikan kuliah matematika klasik dari prinsip-prinsip Euclidus Magesty Ptolemius, filsafat, ilmu kalam, irfan dan tasawuf, dan tafsir. Ia mempelajari semua ilmu hingga derajat ijtihad.
Popularitas Allamah Thabathaba’i di Teheran dan pusat-pusat studi keagamaan di kota-kota Iran mulai meningkat. Lantaran berbagai peristiwa politik dan Perang Dunia II, serta rentetan dampak-dampaknya, sang mujtahid mufasir sufi filsuf ini lalu berhijrah ke kota suci Qom dan tinggal di sana.
Di kota itu Thabathaba’i memulai pengajaran tafsir dan filsafat. Dalam kunjungan rutinnya ke Teheran, ia bertemu dan berkumpul dengan para pecinta filsafat dan ilmu-ilmu keislaman. Ia juga terlibat dalam diskusi dengan kalangan anti-agama dan filsafat.
Dengan kekuatan akal dan logika, ia berhasil meyakinkan banyak orang dan meluruskan pemikiran, serta membuka peluang kepada mereka untuk mengakses pintu-pintu kebenaran agama. Dalam 20 tahun lebih ia telah menancapkan pengaruh positifnya pada kalangan ulama, pelajar agama, juga lulusan pendidikan di Barat.
Mungkin yang lebih penting lagi, kontribusi besar Thabathaba’i ialah menghidupkan kembali studi tafsir Al-Quran. Kitab Al-Mizan fi Tafsir Al-Quran merupakan buah karya ilmiah monumental yang kaya perspektif.
Metode yang dianutnya ialah menafsirkan Al-Quran dengan Al-Quran, yakni menggali kandungan makna dari suatu ayat dengan cara merujuk ke ayat-ayat lain. Maka, satu ayat akan menafsirkan ayat lain. Pola tafsir ini dilengkapi olehnya dengan telaah riwayat, baik dari literatur Syiah ataupun Sunni.
Kontribusi terpenting lain Allamah Thabathaba’i ialah mengembangan kuliah filsafat dan Irfan. Tanpa kesepakatan, ia bersama Imam Khomeini memulai kuliah filsafat dan irfan di Qom, kendati ada sikap sinis dari sejumlah kalangan.
Dalam kuliahnya diajarkan buku-buku klasik filsafat seperti Syarh Al-Mandhumah karya Mulla Haddi Sabzawari, Al-Syifa karya Ibn Sina, hingga Al-Hikmat Al-Muta’aliyah fi Al-Asfar Al-Arba’ah karya Shadr Al-Muta’allihin.
Demikian pula di bidang irfan atau tasawuf. Selain membuka kuliah dan mengajarkan buku teks irfan teoretis, seperti Tamhid Al-Qawa’id karya Ibn Turkah, ia juga membina akhlak dan spiritual para pelajar dengan tekun dan penuh cinta.
Salah satu kegiatan Thabathaba’i selama bermukim di Qom adalah mengadakan majelis-majelis yang dihadiri oleh Henry Corbin, Sayid Husain Nasr, Darwis Syaigan dan lainnya dengan konsentrasi masalah-masalah filsafat, irfan, adyan, dan Islamologi.
Ia selama dalam safar yang berkelanjutan ke Teheran, bertemu dengan para penggemar Hikmah dan Maarif Islam, dan kadang-kadang memberi jawaban atas para penentang agama dan hikmah. Dalam sebagian pertemuan ini dibahas tafsir irfani Barat dengan konsentrasi pembahasan mengenai Upanishad dan Gatha.
Pertemuan antara Thabathaba’i dan Corbin terjadi selama 20 tahun setiap musim gugur, dengan dihadiri oleh pegiat filsafat, mengenai pembahasan penting tentang agama dan filsafat.
Menurut Sayid Husain Nasr, itu merupakan pertemuan dengan pembahasan tingkat tinggi dengan cakupan yang sangat luas di dunia Islam saat ini.
Pertemuan pemikiran itu luar biasa, dan menghubungkan lagi dua dunia pemikiran lama. Bahkan dapat dikatakan, semenjak abad pertengahan hubungan pemikiran dan spiritual antara Islam dan Kristen sudah terputus, sebuah hubungan yang belum pernah tercapai antara Timur dan Barat.
Thabathaba’i juga memiliki bakat puisi. Sebagian puisi-puisi yang masih ada terkumpul dan dicetak dalam buku “Zi Mihr Afrukhte”. Dalam sebagian syair-syairnya, ia tidak menggunakan kata-kata selain bahasa Persia.
Setelah Thabathaba’i meninggal, banyak diselenggarakan konferensi-konferensi dan seminar-seminar dengan tujuan untuk mempelajari dan mengenal kehidupan dan pemikiran-pemikirannya. Seminar yang paling penting adalah Mizan Hikmah yang diselenggarakan oleh IRIB (Islamic Republic of Iran Broadcasting) pada 2004.
Sebuah seri dokumenter telah diputar di televisi dengan nama Hadis Saro, yang mengungkap tentang kehidupan dan kepribadian ulama-ulama Syiah. Salah satu serialnya menayangkan kehidupan Allamah Thabathaba’i. Di Teheran terdapat sebuah universitas dengan namanya. ***
Artikel ini ditulis oleh: