Jakarta, Aktual.com – Dewan Pertimbangan Aliansi Masyarakat Sipil Untuk Indonesia Hebat (Almisbat) Syaiful Bahari menyebut, pihaknya terkejut perihal sanksi gugatan dan putusan Organisasi Perdagangan Internasional (WTO) yang mengalahkan Indonesia.

Hal ini karena dianggap mengabaikan keputusan sidang banding WTO (Appelate Body WTI) pada 9 November 2017 lalu. Termasuk Amerika Serikat (AS) juga mengajukan sanksi dagang senilai US$ 350 juta atau setara Rp5 triliun.

“Kami sebagai masyarakat baru tahu dan terkejut mengapa Indonesia sampai digugat AS dan Selandia Baru (NZ) di WTO,” tandas Syaiful dalam acara diskusi ‘Mimpi Swasembada Pangan yang Tersandung Gugatan WTO’ yang digelar Almisbat, di Jakarta Pusat,  Kamis (28/2).

Padahal, kata dia, gugatan itu terkait Peraturan Menteri Pertanian dan Peraturan Menteri Perdagangan soal Rekomendasi Impor Produk Hortikultura (RIPH) sudah diajukan AS dan NZ sejak 2013, yakni Permentan No. 86 tahun 2013 dan Permendag No. 16 tahun 2013.

Meski pemerintah mengaku sudah merevisi peraturan-peraturan tersebut dan mengajukan banding ke WTO, namun tetap saja Indonesia kalah karena tak bisa membuktikan alasannya. Sehingga Indonesia dianggap tidak patuh keputusan WTO.

“Ini bukan persoalan enteng, karena dapat merusak citra Indonesia di perdagangan internasional. Kalau benar, siapa yang akan bertanggung jawab? Hal ini akan menjadi bom waktu buat pemerintahan Jokowi,” kata Syaiful.

Sebenarnya, lanjut dia, gugatan AS dan NZ di WTO terjadi sejak masa pemerintahan SBY yakni Permentan No. 60 tahun 2012 tentang RIPH dan Permendag No. 60 tahun 2012. Namun, saat itu pemerintah cepat merespon merevisinya.

“Permendag baru itu sederhanakan perizinan impor dan mengeluarkan 18 komoditi dari daftar produk hortikultura, seperti bawang putih, bawang putih bubuk, cabe bubuk, kubis, bunga krisan, bunga anggrek dan beberapa produk hortikultura olahan,” jelasnya.

Selanjutnya, pasca 2014 setelah Jokowi-JK memimpin salah satu yang jadi prioritas adalah meningkatkan produktifitas rakyat dan daya saing di pasar internasional seperti dalam Nawacita ke 6.

Namun sayangnya, lanjut dia, produk regulasi di sektor hortikultura yang dibuat Kementan pada 2017 dan 2018 yakni Permentan No16 tahun 2017 tentang RIPH beserta revisinya Permentan No 38 2017 dan No 24 2018 bukannya disusun dengan menjaga prinsip keseimbangan kepentingan di dalam negeri dan perdagangan internasional. Akan tetapi melahirkan produk regulasi yang menabrak aturan WTO.

“Seperti kasus bawang putih lebih parah lagi. Sebelumnya sudah dikeluarkan dalam aturan pembatasan importasi dan dalam Permentan sebelumnya hanya masuk dalam daftar lampiran, tetapi sejak 2017 justru dimasukan dalam pasal wajib tanam sebagai syarat dapat RIPH bawang putih. Untungnya China, produsen bawang putih terbesar di dunia, belum terlibat di WTO,” jelasnya.

Di sisi lain, kata Saiful, jika mau mengejar swasembada pangan sebagai prioritas pemerintah, harus juga mempertimbangkan aspek perdagangan internasional. Jangan memicu negara-negara lain marah sehingga menggugat Indonesia di WTO atau menciptakan perang dagang. Jangan demi slogan kepentingan rakyat dan nasional justru memproteksi dengan membabi buta.

“Dari kasus kekalahan Indonesia atas gugatan AS dan NZ di WTO menunjukan strategi pembangunan pertanian di Indonesia khususnya di hortikultura tidak memiliki arah dan prioritas yang jelas. Kita harus belajar dari Thailand, Brazil, dan negara lain yang bisa menjaga kedaulatan dan kesejahteraan petani, tapi tetap menjaga keseimbangan perdagangan internasional,” papar dia.

Di tempat yang sama, Deputi VII Kementerian Perekonomian, Darwin Siahaan, mengatakan pihaknya belum mengetahui soal sanksi gugatan tersebut.

“Infonya bukan dari pemerintah yang mengeluarkan US$ 350 juta itu. Namun untuk angkanya bisa ditanyakan ke Kemendag. Kami juga belum dapat angka sebenarnya berapa,” ungkap dia.

Namun lanjutnya, untuk menghindari kejadian tersebut di kemudian hari, pihak pemerintah juga perlu hati-hati mengeluarkan Permen.

Sementara itu, Sulistio Wijajanto, Kepala Subdit Investasi, Lingkungan dan Pembangunan Kemendag mengklaim, pemerintah telah melakukan  penyesuaian kebijakan terkait importasi hewan, produk hewan, dan produk hortikultura, dengan menghilangkan aturan yang berbenturan dengan perjanjian WTO.

”Fungsi pengawasan terus ditingkatkan, sehingga importasi tetap terkendali. Kepentingan nasional Indonesia menjadi prioritas utama dalam perumusan kebijakan, seperti target swasembada pangan serta perlindungan terhadap petani,” bantahnya.

Tak hanya itu, lanjut dia, pemerintah akan merumuskan kebijakan yang dapat mengendalikan impor dengan memanfaatkan “policy space” dalam perjanjian WTO. Semisal domestic support dan public stock holding (beras), SSG (produk susu dan cengkeh), pengenaan trade remedies (safeguard, anti-dumping, anti-subsidy), dan lainnya.

Guru Besar Fakultas Pertanian IPB, Prof. Dwi Andreas Santosa, dalam diskusi tersebut menyebut kasus gugatan tersebut harus menjadi pembelajaran bagi pemerintah dalam menetapkan peraturan maupun kebijakan, perlunya melihat aspek yang lebih jauh.

“Dari semangat sih oke. Tapi dalam melindungi petani tidak juga melupakan aspek-aspek perdagangan internasional. Misalnya kebijakan tarif. Itu tak pernah dilakukan sampai saat ini, bahkn akhirnya di-nol-kan. Itu jelas menyengsarakan petani. Sedang kebijakan kuota tak karuan, banyak dimanfaatkan jual-beli kuota,” terang dia.

Artikel ini ditulis oleh:

Zaenal Arifin