Oleh: Salamuddin Daeng*

Bunga utang bengkak, utang baru susah diperoleh, mau naikin pajak sama dengan bunuh diri karena ekonomi sedang lemah, mau naikin tarif barang impor ketergantungan sudah sangat tinggi, infrastruktur langsung mangkrak. Itulah kira kira ringkasannya.

Mari kita mulai dengan bagaimana parahnya kemampuan pembayaran bunga utang pemerintah dan otoritas moneter? Mari kita lihat pemerintah memberikan bunga 8,516 % kepada investor (The Indonesia 10Y Government Bond has a 8,516% yield). Dengan demikian maka kita bisa hitung bunga yang harus dibayar.

Berdasarkan data Bank Indonesia, Utang luar negeri pemerintah dan otoritas moneter USD 179.728 miliar atau sebesar Rp 2.606,056 triliun. Utang pemerintah dari SUN Rp 1.907,506 triliun. Maka total utang pemerintah dan otoritas moneter Rp 4.513,562 triliun.

Dengan demikian maka beban bunga yang harus ditanggung pemerintan sedikitnya Rp 384,374 triliun. Bunga tersebut kalau ditambah cicilan utang pokok sebesar Rp 69,785 triliun, maka menjadi Rp 454,159 trikiun. Jumlah yang sangat besar dan menjadi beban yang sangat berat. Pemerintah hanya akan mampu bayar apabila dapat utang baru.

Pertanyaannya apakah bisa dapat utang baru dengan yield 8,516%. Rasanya tidak mungkin ada investor asing yang murah hati dicampur bego mau meberikan utang kepada Indonesia dengan yield sekecil itu.

Mengapa? Karena depresiasi rupiah dalam satu tahun terakhir lebih rendah dari yield yang diterima investor. Investor rugi menanamkan dolarnya dalam surat utang pemerintah Indonesia.

Mari kita hitung. Sejak 12 september tahun 2017 kurs berada pada posisi Rp 13.178/USD. Hari ini 10 september 2018 kurs berada pada Rp 14.819/USD. Dengan demikian dalam setahun ini kurs melemah 12.45%. Investor rugi 3,934%.

Jadi cara memahami betapa parahnya keuangan pemerintah Indonesia sekarang ini adalah:

Pertama; pemerintah tidak akan sanggup bayar bunga utang dan cicilan utang pokok tanpa utang baru yang memadai.

Kedua; pemerintah tidak mungkin dapat utang baru yang memadai dikarenakan yield lebih rendah dari depresiasi rupiah, kecuali ada investor murah hati atau dungu. Rasanya itu tidak ada.

Ketiga; berarti pemerintah tidak dapat melanjutkan APBN, karena tidak ada uang. Bukankah Sri Mulyani naikin pajak? Mana ada sejarah pajak naik sementara pertumbuhan ekonomi turun. Itu langkah bunuh diri.

Jadi sebaiknya kita menonton saja pertarungan Jokowi melawan dolar sepanjang 2018 ini. Sebagai bentuk partisipasi, kita siapkan tandu dan ambulan untuk membawa pemerintahan ini ke UGD. Bangsa Indonesia tidak dapat memberi solusi pada ekonomi salah urus dan politik anggaran “pokoke”.

 

* Penulis adalah Peneliti Asosiasi Ekonomi Politik Indonesia (AEPI)

Artikel ini ditulis oleh:

Teuku Wildan