Jakarta, Aktual.com – Eko Susilo Hadi (ESH), saat menjabat sebagai Pelaksana Tugas Sekretaris Utama Badan Keamanan Laut (Bakamla) disinyalir melakukan pengaturan lelang proyek monitoring satelit Bakamla. Manipulasi lelang ini untuk memenangkan PT Melati Technofo Indonesia dalam tender proyek monitoring satelit Bakamla.
Untuk bisa memenangkan PT Melati, ada fee yang diduga diminta oleh Eko yakni 7,5 persen dari nilai proyek Rp 200 miliar. Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) pun berhasil menguak pemberian uang dari PT Melati melalui dua pegawainya bernama Hardy Stefanus (HST) dan M Adami Okta (MAO) ke Eko.
“Terjadi penyerahan uang dari HST dan MAO kepada ESH di kantor Bakamla pada Rabu (14/12) sekitar pukul 12.30 WIB. Seusai penyerahan penyidik langsung mengamankan HST dan MAO di parkiran kantor Bakamla. Kemudian, penyidik juga mengamankan ESH di ruang kerjanya, beserta uang setara Rp 2 miliar dalam mata uang dolar Amerika Serikat dan Singapura,” papar Ketua KPK, Agus Rahardjo saat jumpa pers di kantornya, Kamis (15/12).
Eko yang berlatar belakang sebagai Jaksa, selanjutnya digiring ke Gedung KPK untuk menjalani pemeriksaan secara intensi. Hasilnya, ditemukan dua alat bukti yang cukup untuk menetapkan mantan Kepala Seksi Pidana Umum Kejaksaan Negeri Jakarta Timur ini sebagai tersangka.
Tak hanya Eko, penyidik juga membawa Hardy dan Adami ke markas lembaga antirasuah. Kedua pengawai PT Melati ini pun bernasib sama dengan Eko.
Menariknya, meski hanya tiga yang tertangkap, penyidik juga menetapkan satu pihak lagi sebagai tersangka, yakni Direktur Utama PT Melati, Fahmi Darmawansyah (FD).
“Setelah melakukan pemeriksaan 1×24 jam pasca penangkapan dan gelar perkara, KPK meningkatkan status penanganan perkara ke penyidikan sejalan dengan penetapan empat orang sebagai tersangka. Mereka adalah HSI, MAO, FD serta ESH,” terang Agus.
Eko dijerat dengan Pasal 12 huruf a atau Pasal 12 huruf b Undang -Undang Nomor 31 Tahun 1999, sebagaimana diubah dalam UU Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor).
Sedangkan Fahmi, Hardy dan Adami disangka melanggar Pasal 5 ayat 1 huruf b atau Pasal 13 UU Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tipikor. Dan hingga kini, KPK masih mencari tahu keberadaan Fahmi.
Laporan: M Zhacky Kusumo
Artikel ini ditulis oleh:
Nebby