Jakarta, Aktual.com — Anggota DPR Komisi VII bidang Energi dari Fraksi Partai Hanura Dewie Yasin Limpo didakwa menerima suap sebesar 177.700 dolar Singapura atau sekitar Rp1,7 miliar dari kepala dinas ESDM dan pengusaha.
“Terdakwa I Dewi Aryaliniza alias Dewie Yasin Limpo selaku anggota DPR 2014-2019 dan Bambang Wahyuhadi selaku tenaga ahli terdakwa I bersama-sama dengan Rinelda Bandaso menerima pemberian hadiah berupa uang tunai seluruhnya sejumlah 177.700 dolar Singapura dari Setiyadi Jusuf dan Irenius Adii,” ujar jaksa penuntut umum KPK Kiki Ahmad Yani, Senin (22/2).
Suap itu, sambung jaksa Kiki, untuk menggerakkan Dewie selaku anggota Komisi VII DPR RI dalam mengupayakan anggaran dari Pemerintah Pusat, untuk pembangunan pembangkit listrik di Kabupaten Deiyai Provinsi Papua.
Irenius Adii adalah Kepala Dinas ESDM kabupaten Deiyai, Papua sedangkan Setiady Jusuf adalah pemilik PT Abdi Bumi Cendrawasih.
Awalnya Irenius Adii membuat proposal usulan bantuan dana pembangunan pembangkit listrik di Kabupaten Deiyai tahun 2015 melalui Rinelda Bandaso alias Ine. Dewie pun bersedia mengawal agar kabupaten Deiyai mendapat dana APBN.
Sehingga pada 30 Maret 2015 setelah rapat dengar pendapat antara Komisi VII DPR dengan Kementerian ESDM, Dewi memperkenalkan Irenius dengan Menteri ESDM Sudirman Said dan Direktur Jenderal Energi Baru Terbarukan dan Konservasi Energi Rida Mulyana.
Dewie pada rapat itu menyampaikan kabupaten Deiyai sangat membutuhkan listrik, sehingga Menteri ESDM Sudirman Said menyarankan agar Irenius memasukkan proposal ke Kementerian ESDM.
“Setelah pertemuan itu, Dewie meminta kepada Irenius Adii agar mempersiapkan dana pengawalan anggaran dan hal itu disanggupi oleh Irenius Adii,” ujar Kiki.
Dewie kemudian meminta Ine agar Irenius menyerahkan laporan hasil survei rencana pembangunan jaringan distribusi dan pembangkit listrik tenaga mikro hidro di Kabupaten Deiyai untuk selanjutnya diserahkan kepada Direktur Utama PT PLN Sofyan Basir.
Dewie pun meminta agar Ine aktif menanyakan tindak lanjut proposal itu kepada Kementerian ESDM. Kemudian pada 28 September 2015, Dewie bersama Rinelda dan Bambang Wahyuhadi bertemu dengan Irenius dan dalam pertemuan itu Dewie kembali meminta Irenius menyiapkan dana pengawalan sebesar 10 persen dari anggaran yang diusulkan dan Irenius mengatakan akan mengupayakannya.
Baru pada 11 Oktober 2015, Irenius menyampaikan bahwa sudah ada pengusaha yang akan menyediakan dana pengawalan dengan syarat ada jaminan pengusaha dimaksud yang akan menjadi pelaksana pekerjaannya sehingga harus diusahakan melalui skema dana Tugas Pembantuan.
“Selanjutnya Ine menyampaikan permintaan Irenius kepada Terdakwa I dan Terdakwa II, dimana Terdakwa I akan membicarakannya dengan Rida Mulyana. Sehari kemudian Ine INE mendapat informasi dari Terdakwa II bahwa Terdakwa I akan membicarakan dengan Anggota Badan Anggaran (Banggar) Komisi VII DPR sekaligus menyampaikan adanya mekanisme penganggaran melalui Dana Aspirasi sebesar Rp50 miliar. Hal ini kemudian disampaikan Ine kepada Irenius,” kata jaksa Kiki.
Pada 18 Oktober 2015 di Restoran Bebek Tepi Sawah Pondok Indah Mall 2 Jakarta dilakukan pertemuan antara Dewie Limpo, Bambang, Irenius, Setiady dan Stefanus Harry Jusuf rekan Setiady dan disepakati Dewie akan menerima dana pengawalan 7 persen dari anggaran yang diusulkan dan meminta Setiady menyerahkan setengah dari dana pengawalan sebelum pengesahan APBN 2016 ke Ine.
Ine pun menjelaskan bahwa Dewie sudah menyampaikan proposal ke Bangar dan setelah mendengar penjelasan, Setiadi pun sepakat menyerahkan setengah dana pengawalan sebesar Rp1,7 miliar dalam bentuk dolar Singapura.
Uang pun diserahkan pada 20 Oktober di Resto Baji Pamai Mal Kelapa Gading Jakarta Utara dari Irenius dan Setiady kepada Rinelda yaitu 177.700 dolar Singapura dan sebagai jaminan, yang ditandatangani oleh Ine mewakili Dewie dan Jemmie Dephiyanto Pathibang mewakili Setiadi serta Irenius sebagai saksi. Isi surat adalah uang akan dikembalikan apabila Setiady gagal menjadi pelaksana pekerjaan.
Atas perbuatan tersebut, Dewie, Bambang dan Rinelda didakwa pasal 12 huruf a pasal 11 UU No 31 tahun 1999 sebagaimana diubah dengan UU No 20 tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi Jo pasal 64 ayat 1 KUHP.
Artikel ini ditulis oleh:
Wisnu