Jakarta, Aktual.com — Anak muda pasti sudah mengenal Hari Valentine ( Valentine’s Day). Hari tersebut dirayakan sebagai suatu perwujudan cinta kasih seseorang, perwujudan yang bukan hanya untuk sepasang muda-mudi yang sedang jatuh cinta. Namun, hari tersebut memiliki makna yang lebih luas lagi. Di antaranya kasih sayang antara sesama, pasangan suami-istri, orang tua-anak, kakak-adik dan lainnya, sehingga “valentine’s day” biasa disebut pula dengan “hari kasih sayang”.

Akan tetapi apakah Muslim mengetahui sejarah dari “valentine’s day” sendiri juga tidak jelas dan ada beberapa versi. Apakah kita harus mengikuti suatu hal yang memang asal-usulnya saja tidak jelas seperti itu. Sungguh merupakan hal yang ironis apabila telinga kita mendengar bahkan kita sendiri ‘terjun’ dalam perayaan Valentine tersebut tanpa mengetahui sejarah Valentine itu sendiri. Yang mana Valentine sebenarnya adalah seorang martir (dalam Islam disebut ‘Syuhada’) yang karena kesalahan dan bersifat ‘dermawan’ maka dia diberi gelaran “Saint” atau “Santo”.

Pada tanggal 14 Februari 270 M, St. Valentine dibunuh karena pertentangannya (pertelingkahan) dengan penguasa Romawi pada masa Raja Claudius II (268 – 270 M). Untuk mengagungkan dia (St. Valentine), yang dianggap sebagai simbol ketabahan, keberanian dan kepasrahan dalam menghadapi cobaan hidup, maka para pengikutnya memperingati kematian St. Valentine sebagai ‘upacara keagamaan’.

Tetapi sejak abad 16 M, ‘upacara keagamaan’ tersebut mulai beransur-ansur hilang dan berubah menjadi ‘perayaan bukan keagamaan’. Hari Valentine kemudian dihubungkan dengan pesta jamuan kasih sayang bangsa Romawi kuno yang disebut “Supercalis” yang jatuh pada tanggal 15 Februari.

Setelah orang-orang Romawi itu masuk agama Nasrani (Kristian), pesta ‘supercalis’ kemudian dikaitkan kembali dengan upacara kematian St. Valentine. Penerimaan upacara kematian St. Valentine sebagai ‘hari kasih sayang’ juga dikaitkan dengan kepercayaan orang Eropa bahwa waktu ‘kasih sayang’ itu mulai bersemi ‘bagai burung jantan dan betina’ pada tanggal 14 Februari.

Dalam bahasa Prancis Normandia, pada abad pertengahan terdapat kata “Galentine” yang berarti ‘galant atau cinta’. Persamaan bunyi antara galentine dan valentine menyebabkan orang berfikir bahwa sebaiknya para pemuda dalam mencari pasangan hidupnya pada tanggal 14 Februari.

Dengan berkembangnya zaman, seorang ‘martyr’ bernama St. Valentino mungkin akan terus bergeser jauh pengertiannya(jauh dari arti yang sebenarnya). manusia pada zaman sekarang tidak lagi mengetahui dengan jelas asal-usul hari Valentine. Di mana pada zaman sekarang ini orang mengenal Valentine lewat (melalui) ‘greeting card’, pesta persaudaraan, tukar kado (bertukar-tukar memberi hadiah) dan sebagainya tanpa ingin mengetahui latar belakang sejarahnya lebih dari 1700 tahun yang lalu.

Dari sini dapat diambil kesimpulan bahwa momen ini hanyalah tidak lebih bercorak kepercayaan atau animisme belaka yang berusaha merusak ‘akidah’ Muslim dan Muslimah sekaligus memperkenalkan gaya hidup barat dengan kedok percintaan (bertopengkan percintaan, red), perjodohan dan kasih sayang.

Sebagai seorang Muslim tanyakanlah pada diri kita sendiri, apakah kita akan mencontoh begitu saja akan sesuatu yang jelas bukan bersumber dari Islam ?

Allah SWT berfirman,

وَلَا تَقْفُ مَا لَيْسَ لَكَ بِهِ عِلْمٌ ۚ إِنَّ السَّمْعَ وَالْبَصَرَ وَالْفُؤَادَ كُلُّ أُولَٰئِكَ كَانَ عَنْهُ مَسْئُولًا

Artinya, “Dan janganlah kamu mengikuti apa yang kamu tidak mempunyai pengetahuan tentangnya. Sesungguhnya pendengaran, penglihatan dan hati, semuanya itu akan diminta pertanggungan jawabnya.” (Al-Isra : 36).

“Dalam Islam kata “tahu” berarti mampu mengindera (mengetahui) dengan seluruh panca indera yang dikuasai oleh hati. Pengetahuan yang sampai pada taraf mengangkat isi dan hakikat sebenarnya. Bukan hanya sekedar dapat melihat atau mendengar. Bukan pula sekadar tahu sejarah, tujuannya, apa, siapa, kapan (bila), bagaimana, dan di mana, akan tetapi lebih dari itu. Oleh kerana itu Islam amat melarang kepercayaan yang membonceng kepada suatu kepercayaan lain atau dalam Islam disebut Taqlid,” kata Ustad Hasanudin kepada Aktual.com, Kamis (4/2), di Jakarta.

Rasulullah SAW pernah mengatakan, “Barang siapa yang meniru atau mengikuti suatu kaum (agama) maka dia termasuk kaum (agama) itu.”

Allah SWT berfirman,

وَمَنْ يَبْتَغِ غَيْرَ الإسْلامِ دِينًا فَلَنْ يُقْبَلَ مِنْهُ وَهُوَ فِي الآخِرَةِ مِنَ الْخَاسِرِينَ

Artinya, “Barang siapa mencari agama selain agama Islam, maka sekali-kali tidaklah akan diterima (agama itu) daripadanya, dan dia di akhirat termasuk orang-orang yang rugi.” (Ali Imran : 85)

“Sebagai seorang Muslim kita sangat dilarang untuk berpartisipasi akan kegiatan tersebut, bukan bermaksud untuk tidak menghormati kepercayaan lain akan tetapi dalam kepercayaan kita sebagai orang Islam memang dilarang. Ada enam alasan yang kuat mengapa Muslim dilarang untuk mengikuti perayaan tersebut,” kata Ustad Hasan-panggilan akrab Hasanudin- menegaskan. Bersambung……….

Artikel ini ditulis oleh: