Dari hasil wawancara dengan 26 pihak berbeda yang mewakili para pembuat kebijakan, pelaku usaha, LSM, dan pakar-pakar energi, menurut dia, terungkap kekhawatiran kebijakan saat ini tidak menyediakan insentif yang cukup untuk menumbuhkan energi terbarukan.
Jika regulasi investasi dipermudah, akan menjadi langkah pertama yang penting untuk melesatkan pembangunan energi terbarukan di Indonesia serta mendatangkan investasi, lanjutnya.
Target EBT yang ditetapkan tersebut sebagai bagian dari serangkaian kebijakan yang dituangkan di dalam Nationally Determined Contributions (NDC) Indonesia di bawah Perjanjian Iklim Paris (Paris Climate Agreement) pada 2015, dan merupakan target yang sangat penting untuk mencapai tujuan pengurangan emisi gas rumah kaca.
Selain itu, energi terbarukan merupakan elemen penting untuk meraih target ketersediaan energi, serta untuk mendukung ambisi pemerintah Indonesia meraih tujuan-tujuan pembangunan berkelanjutan (SDGs).
Ia mengatakan laporan GSI mengungkap hambatan terbesar untuk pengembangan energi terbarukan adalah, pertama, harga pembelian untuk energi terbarukan dibatasi di angka yang terlalu rendah sehingga tidak menarik bagi pengembang pembangkit baru, bahkan di beberapa daerah lebih rendah dari harga pembangkit batubara.
Kedua, perubahan kebijakan dan peraturan yang cukup sering dilakukan berujung pada ketidakpastian dan penundaan, serta meningkatkan resiko bagi para investor. Dan, ketiga, dukungan finansial untuk bahan bakar fosil khususnya batubara bertentangan dengan keinginan untuk melakukan transisi ke energi terbarukan.
Hambatan keempat, PLN sebagai pemilik utama aset pembangkit berbahan bakar fosil memiliki pengalaman minim di bidang energi terbarukan dan kemauan yang terbatas untuk melakukan transisi ke pembangkitan berbasis energi terbarukan.[ant]
Artikel ini ditulis oleh:
Andy Abdul Hamid