Apalagi, kata dia, Sri Mulyani yang saat ini berada di Kabinet Kerja Jokowi-Jusuf Kalla, dirinya juga pernah menjabat sebagai Menteri PPN/Kepala Bappenas tahun 2004-2005, lalu jadi Menteri Keuangan era 2005-2010 dan Menteri Koordinator Perekonomian 2008-2009. Tapi faktanya, Sri Mulyani tidak pernah menunjukan rekam jejak untuk menggenjot pertumbuhan ekonomi di luar pemanfaatan SDA.
“Justru yang ada, hanya mengandalkan SDA dan komoditi yang diekspor masih dalam keadaan setengah mentah seperti Crude Palm Oil (CPO) yang justru nilai tambahnya itu tidak banyak,” cetus dia.
Apalagi kemudian, katanya, di masa Sri Mulyani sangat berkuasa dalam mengatur pertumbuhan ekonomi itu, penghasilan utama ekspor Indonesia malah batubara dan CPO yang harga internasioalnya pada saat itu sedang di puncak kejayaannya.
Oleh karena itu, sambungnya, tidak mengherankan bila pertumbuhan ekonomi kala itu bisa mencapai 6,6% dan media serta para analis dalam dan luar negeri justru bersorak-soraidan mengelu-elukan sosok Sri Mulyani yang seolah-olah sebagai seorang wonder woman yang berpestasi luar biasa dalam memacu pertumbuhan ekonomi Indonesia.
“Padahal prestasinya cuma menggantungkan diri kepada SDA seperti batubara dan juga gas serta CPO yang harganya sedang membumbung tinggi sekali. Tapi bukannya menggenjot sektor-sektor pertumbuhan baru seperti yang selalu digembar-gemborkan dalam pidato Sri Mulyani itu,” paparnya.
Sehingga akibatnya, kata dia, pada waktu harga batubara dan komoditi lainnya anjlok dalam sekali sejak 2012 lalu sampai pernah tinggal 30-50% dari harga tertingginya, maka sudah pasti pertumbuhan ekonomi Indonesia ikut merosot ke bawah.
“Dan pada waktu dia ditarik kembali ke pemerintahan sudah tidak berdaya untuk mengangkat perumbuhan ekonomi. Karena memang dulu berprestasi gara-gara harga-harga komoditi tinggi. Serta tak menggenjot sumber-sumber ekonomi baru yang tak bergantung pada SDA dan komoditi primer,” jelasnya.
Dengan begitu, jelasnya, pada akhirnya publik tahu bahwa pidato Sri Mulyani yang menganjurkan agar Indonesia tidak lagi mengantungkan diri kepada SDA dan komodit primer bertentangan dengan rekam jejaknya sendiri.
Artikel ini ditulis oleh:
Eka