Jakarta, Aktual.com – Rasio ketimpangan atau gini ratio yang dirilis oleh Badan Pusat Statistik (BPS) menyebutkan adanya perbaikan sebesar 0,003 poin (dari 0,397 menjadi 0,394) dianggap tak tepat.
Pasalnya, standar yang digunakan untuk menghitung ketimpangan masyarakat berdasar konsumsi bukan berdasar pendapatan. Padahal, Indonesia masuk negara paling timpang di dunia.
“Jadi ketimpangan masih dinilai dari sisi konsumsi. Kalau begitu, jelas tak menggambarkan kondisi sebenarnya. Justru jika dilihat melalui ketimpangan pendapatan, kita masih masuk negara paling timpang nomor empat di dunia,” tandas ekonom INDEF, Bhima Yudhistira Adhinegara, kepada Aktual.com, di Jakarta, Kamis (2/2).
Apalagi indikator lainnya, kata dia, penyerapan tenaga kerja turun di 2016 jadi 1,39 juta dari sebelumnya di 2015 sebesar 1,44 juta. “Artinya, semakin banyak masyarakat usia produktif yang tidak memiliki pekerjaan,” cetus dia.
Dengan begitu, kata Bhima, otomatis pendapatan kelas bawah berkurang secara agregat. Sehingga, jumlah pengangguran usia muda lebih dari 28%. Sementara dari sisi jumlah jam kerja sebanyak 26% penduduk lebih dari 49 jam per minggu.
“Itu justru terlama ketiga di Asia. Kenapa jam kerja kita bisa selama itu? Karena pendapatan yang ada tidak bisa memenuhi kebutuhan pokok. Dan orang kelas bawah harus bekerja ekstra,” tegas dia.
Dengan kondisi kelompok bawah seperti ini, maka kendati gini ratio dianggap membaik malah tak berdampak positif terhadap perbaikan kehidupan kelas bawah.
(Busthomi)
Artikel ini ditulis oleh:
Arbie Marwan