Jakarta, Aktual.com – Ahli hukum pidana dari Universitas Islam Indonesia (UII), Mudzakkir coba menjelaskan mengapa Gubernur DKI Jakarta nonaktif, Basuki Tjahaja Purnama alias Ahok disangkakan melanggar Pasal 156a KUHP, bukan Pasal 156 KUHP.
Ia menjelaskan, dalam Pasal 156 lebih menitikberatkan pada ‘golongan’ yang luas, semisal agama, suku bahkan bangsa. Jika dikaitkan dengan pernyataan Ahok berarti agama Islam. Sedangkan dalam Pasal 156a, terfokus pada suatu agama yang sah di Indonesia.
Jika ditinjau dari pernyataan Ahok di Kepulauan Seribu akhir September 2016 lalu, menurut Mudzakkir dapat disimpulkan bahwa menyinggung salah satu agama, yang dipertegas dengan penyebutan surat Al Maidah ayat 51.
“Jadi begini, itu kan ada dua perbuatan, perbuatan yang paling menyakitkan ialah kitab sucinya, dikatakan dibohongi pakai Al Maidah, yang paling menyinggung ialah penggunaan kata Al Maidah,” papar Mudzakkir saat dihubungi, Jumat (18/11).
Lebih rinci ia memaparkan, kalimat ‘kalau bapak ibu nggak bisa pilih saya, ya kan, dibohongin pakai surat Al Maidah 51’, memang mengarah pada ‘orang’. Pendapatnya, Ahok merasa ada pihak yang menggunakan surat Al Maidah untuk membohongi warga Jakarta agar tidak memilih Ahok.
Namun, fakta hukum yang ada justru menguatkan Pasal 156a. Seperti halnya Aksi Bela Islam pada 4 November lalu, menjadi bukti terpenuhinya unsur penodaan terhadap agama Islam.
“Jadi kalau itu urusan Tuhan diwakili oleh orang yang beriman. Prinsipnya, orang dengan kitab suci kan lebih tinggi kitab suci. Karena menyinggung kitab suci itu makanya orang sakit hati, hingga demo besar-besaran,” jelasnya.
Menurutnya, akan sulit untuk membuktikan bahwa ada pihak yang menggunakan surat Al Maidah untuk membohongi dan membodoh-bodohi warga Ibu Kota. Selain itu, dia meyakini, jika sasarannya ‘orang’, reaksi yang timbul tidak sedahyat seperti unjuk rasa 4 November.
“Tapi kalau misalnya orang, keterwakilan orang barang kali tidak terlalu sakit hati. Jadi itu reaksi emosinya ada tapi tidak sedahsyat dengan yang terkait kitab suci,” tutupnya.
Untuk diketahui, sebagaimana dalam KUHP, Pasal 156 berbunyi: Barang siapa di muka umum menyatakan persaan permusuhan, kebencian atau penghinaan terhadap suatu atau beberapa golongan rakyat Indonesia, diancam dengan pidana penjara paling lama empat tahun atau pidana denda paling banyak empat ribu lima ratus rupiah. Perkataan golongan dalam pasal ini dan pasal berikutnya berarti tiap-tiap bagian dari rakyat Indonesia yang berbeda dengan suatu atau beberapa bagian lainnya karena ras, negeri asal, agama, tempat, asal, keturunan, kebangasaan atau kedudukan menurut hukum tata negara.
Sedangka Pasal 156a berbunyi: Dipidana dengan pidana penjara selama-lamanya lima tahun, barang siapa dengan sengaja di muka umum mengeluarkan perasaan atau melakukan perbuatan, a. Yang pada pokoknya bersifat permusuhan, penyalahgunaan atau penodaan terhadap suatu agama yang dianut di Indonesia, b. Dengan maksud agar supaya otang tidak menganut agama apa pun juga, yang bersendikan Ketuhanan Yang Maha Esa.
Laporan: M Zhacky Kusumo
Artikel ini ditulis oleh:
Nebby