Jakarta, Aktual.com–ada kejuaraan dunia catur 1972, Bobby Fischer (Amerika Serikat), merebut gelar dari tangan juara bertahan Boris Spasky (Uni Soviet). Mantan juara dunia catur, Garry Kasparov (Rusia), dalam acara ” Conversation with Bill Kristol”, mengatakan bahwa hal terpenting dari event 1972 tersebut bukanlah faktor caturnya, namun faktor politiknya. Kekalahan wakil Soviet atas Amerika Serikat tersebut diterjemahkan sebagai superioritas intelektual Amerika atas Soviet, atau keunggulan demokrasi atas komunisme, yang berujung pada pecahnya Soviet pada Desember tahun 1991.
Berkaca dari sejarah Perang Dingin di atas, pelajaran yang jelas terlihat adalah perang gagasan (ideologi) dapat mengambil berbagai macam bentuk, konfrontasi, konflik, maupun kompetisi. Kekalahan pada bentuk perang yang manapun, mampu mengubah hasil akhir, dan tidak jarang menentukan eksistensi dari gagasan yang kalah. Dalam konteks Indonesia, perang gagasan tersebut sudah terjadi minimal 3 kali. Kali pertama yaitu perang antara gagasan kolonialisme dan gagasan kemerdekaan yang mengambil bentuk konfrontasi.
Kali yang kedua yaitu pada periode PRRI /Permesta, yaitu perang gagasan antara konsep NKRI dan separatisme, yang merupalan bentuk konflik. Sementara yang ketiga, yaitu perang ideologi antara Pancasila dan komunisme., yang mengambil bentuk kompetisi. Hasil akhir dari ketiga perang tersebut terjawab dengan masih berdirinya NKRI yang berdaulat serta berazaskan Pancasila dan UUD 1945.
Sehari menjelang rencana demo 4 November, beberapa elit politik, mulai dari mantan Presiden SBY, hingga Wakil Ketua DPR RI non partai, Fahri Hamzah, masih saja mengeluarkan pernyataan yang kurang peka terhadap ke-bhineka-an Indonesia. Lebih jauh, keduanya seolah sengaja mementahkan hasil pertemuan Presiden RI dan Prabowo, termasuk hasil pertemuan Presiden dengan tiga ormas Islam terbesar di Indonesia. Baik SBY maupun Fahri Hamzah mengeluarkan pernyataan yang kental nuansa politisnya.
Sementara kalangan melihat bahwa baik “timing”, diksmilih i, maupun isi pernyataan keduanya merupakan langkah kontra produktif atas langkah preventif yang telah dilakukan oleh Presiden Jokowi sehari sebelumnya.
Dengan demikian, demo 4 November besok, bukan lagi sekedar sarana konstitusional bagi rakyat untuk menyuarakan aspirasinya, namun sudah merupakan perang gagasan, yang mengambil bentuk konflik antara toleran dan intoleran, konflik antara ke-bhineka-an dan keseragaman, serta konflik antara rasionalitas dan emosionalitas.
Dengan situasi seperti demikian, perlu diapresiasi persiapan dan kesiapan baik TNI dan Polri. Persiapan dan kesiapan dimaksud, bukanlah dalam hal kekuatan represif, namun lebih kepada sikap mental dan strategi untuk menjamin bahwa para pendemo dapat menyampaikan aspirasinya secara aman, tertib, dan lancar. Hal tersebut diperkuat dengan kelenturan dan kesantunan NU serta Muhammadiyah sebagai ormas Islam tertua dan terbesar di Indonesia, untuk merangsang kesadaran umat Islam di seluruh nusantara, baik yang ikut berdemo maupun yang tidak, untuk memastikan kemenangan gagasan toleran, ke-bhineka-an, dan rasional atas lawannya yang intoleran, seragam, dan emosional. Sekaligus untuk membuktikan bahwa Islam adalah Rahmatan lil ‘Alamin.
Jakarta, 3 November 2016
Penulis
Ilham Sani
(Wakil Direktur Lembaga Pemilih Indonesia/LPI)
Artikel ini ditulis oleh:
Bawaan Situs