Diskusi GFI
Diskusi GFI
Jakarta, Aktual.com – Global Future Institute (GFI) menggelar seminar terbatas yang membahas potensi beroperasinya Naval Medical Research Unit 2 (NAMRU-2) di Indonesia. Digelar di Wisma Daria, Jakarta, Kamis (30/8) lalu, seminar terbatas ini dihadiri oleh sejumlah narasumber dari berbagai kalangan.
Mulai dari perwakilan Kementerian Dalam Negeri, Kementerian Pertahanan, Lembaga Ketahanan Nasional (Lemhanas), mantan Danjen Marinir Letjen (Purn.) Soeharto, mantan Dubes RI di PBB Makarim Wibisono, mantan Staf Khusus Menteri Kesehatan RI 2004-2009, dan Ketua Relawan Kesehatan Indonesia, Agung Nugroho.
Selain itu juga hadir beberapa perwakilan elemen masyarakat baik dari perguruan tinggi, Badan Intelijen Stragis (BAIS), beberapa pelaku media maupun beberapa pegiat Lembaga Swadaya Masyarakat, khususnya yang bergerak di bidang kesehatan.
Direktur Eksekutif GFI, Hendrajit menyatakan jika beberapa narasumber dan peserta seminar terbatas ini menyepakati jika di ketahanan Indonesia di bidang kesehatan, khususnya dalam penelitian dan pengembangan masalah kesehatan terkait penemuan vaksin, sangatlah rapuh.
“Sehingga posisi tawar atau bargaining position pemerintah Indonesia di hadapan negara-negara maju sangat lemah,” kata Hendrajit dalam keterangan tertulisnya.
Pendapat ini, ujarnya, berdasar pada keberadaan NAMRU-2 AS yang sempat beroperasi pada Januari 1974 hingga Oktober 2009 silam. Keberadaan laboratorium ini telah menjadikan Indonesia sebagai sasaran hegemoni dan dominasi AS di Indonesia.
NAMRU-2 nyata-nyata telah diketahui memiliki tujuan ganda, yaitu sebagai laboratorium penelitian penyakit-penyakit menular. Namun di sisi lain, laboratorium ini ternyata menjadi sarana operasi intelijen Angkatan Laut AS, yaitu sebagai sarana transfer virus dari Indonesia ke AS di saa
Selain itu, lanjut Hendrajit, pusat referensi atau laboratorium referensi terkait penelitian dan pengembangan penemuan vaksin, hanya ada di beberapa negara maju seperti AS, Inggris, Australia, Jepang dan Korea Selatan.
Hal itu disebabkan masih terkebelakangnya Indonesia dalam bidang biomedical science karena tidak adanya keterpaduan yang terintegrasi di kalangan para ilmuwan kesehatan.
“Adapun terkait dengan adanya potensi ancaman beroperasinya kembali NAMRU-2 AS dengan menggunakan nama lain, para narasumber maupun peserta aktif sepakat agar pemerintah Indonesia, melalui berbagai instansi terkait, agar bersikap waspada,” ungkap pria asal Solo ini.
Untuk itu, kata Hendrajit, beberapa narasumber menggarisbawahi sektor Riset dan Teknologi (Ristek) maupun Perguruan Tinggi, sangat mungkin untuk dijadikan pintu masuk agenda-agenda terselubung yang diproyeksikan sebagai lembaga-lembaga penelitian bertujuan ganda ala NAMRU-2 AS.
“Apalagi dalam seminar mencuat suatu informasi bahwa di Kementerian Ristek dan Perguruan Tinggi, terdapat sebuah tim yang berwenang memberikan perizinan bagi para peneliti asing atau penelitian yang digagas oleh para ilmuwan dari luar negeri. Selain itu dari sektor pertanian juga berpotensi sebagai pintu masuk,” paparnya.
Aspek lain yang juga harus disorot adalah betapa rawannya isu BIO TERORISME dan WEAPON of MASS DESTRUCTION, mengingat fakta bahwa NAMRU-2 AS telah digunakan sebagai sarana transfer virus selama beroperasi di Indonesia.
“Yang mana virus yang dikirim oleh NAMRU-2 dari Jakarta, ditengarai telah dikirim ke Los Alamos, AS, untuk membuat senjata biologis atau biological weapon,” jelas Hendrajit.
Berdasar kesimpulan di atas, GFI pun mengeluarkan sejumlah rekomendasi terkait potensi beroperasinya kembali NAMRU-2 di Indonesia. Berikut adalah rekomendasi GFI:
1. Mengingat begitu banyaknya pintu masuk untuk menembus kedaulatan nasional Indonesia melalui sarana nirmiliter, maka perlu adanya kebijakan satu pintu alias One Gate Policy dari pemerintah Indonesia.
2. Sudah saatnya merevisi kembali undang-undang kesehatan, dengan menggunakan kerangka konsepsi Ketahanan Kesehatan yang bersifat terpadu dan terintegrasi dengan sektor-sektor strategis lainnya seperti Politik-Keamanan, Politik Ekonomi, Sosial-Budaya maupun pertahanan keamanan itu sendiri.
3. Terkait dengan potensi ancaman dari BIO TERORISME dan Senjata Pemusnah Massal atau Weapon of Mass Destruction, kementerian luar negeri dan Kementerian Pertahanan, agar mendesak negara-negara di kawasan Asia Tenggara yang tergabung dalam ASEAN, agar mendesak kawasan Asia Tenggara menjadi wilayah bebas senjata nuklir dan senjata biologis, yang hakekatnya mauk kategori senjata pemusnah missal alias Weapon of Mass Destruction.

Artikel ini ditulis oleh:

Novrizal Sikumbang