Padahal dalam situasi perlambatan seperti saat ini, kebijakan ekspansi fiskal harus memprioritaskan pembiayaan yang berdampak langsung pada perekonomian sebagai penyeimbang terhadap pelemahan pertumbuhan ekonomi, tutur Rendy.

Selanjutnya, pemerintah juga harus menghentikan kecenderungan pembiayaan anggaran melalui utang yang terus meningkat dengan cepat dalam beberapa tahun terakhir, serta memperbaiki manajemen risiko utang.

Rendy menjelaskan, pada APBN 2017 bunga utang yang ditanggung pemerintah mencapai Rp221 triliun, meningkat 21 persen dibanding pembayaran bunga utang pada APBN-P 2016 yang mencapai Rp182 triliun.

Dalam tiga tahun terakhir, rata-rata peningkatan pembayaran bunga utang per tahun mencapai 18 persen, jauh lebih tinggi dibanding periode 2009-2014 yang rata-rata per tahun meningkat tujuh persen.

Dengan semakin besarnya porsi pembiayaan melalui utang pada RAPBN-P 2017, pemerintah harus lebih mencermati risiko suku bunga.

Walau surat utang indonesia telah mendapat label “investment grade” oleh beberapa lembaga rating kredit, namun ia menganggap itu tidak menjamin surat utang Indonesia terbebas dari risiko pasar seperti potensi kenaikan suku bunga “The Fed” Amerika Serikat dan European Central Bank (ECB) yang mengakibatkan perebutan likuditas obligasi global semakin ketat.

Di samping itu, penerbitan surat utang negara (SUN) juga akan menimbulkan “crowding out effect” karena penerbitan SUN bakal menyerap likuiditas di pasar keuangan, sehingga pasar obligasi akan kekurangan likuiditas akibat sepi peminat.

Kondisi anggaran negara yang sudah berada dalam zona kuning ini akan mendorong pihak swasta mencari alternatif pembiayaan lain seperti utang dari luar negeri, ujar Rendy menambahkan.[ant]

Artikel ini ditulis oleh:

Antara
Andy Abdul Hamid