Ilustrasi- Nyamuk Malaria
Ilustrasi- Nyamuk Malaria

Jakarta, Aktual.com – Anggota DPR RI Kurniasih Mufidayati mengaku optimistis Indonesia dapat terbebas dari kasus malaria pada tahun 2030, apabila pemerintahan baru serius menangani persoalan tersebut.

“Kita memang masih tertinggi (jumlah kasus malaria), karena wilayah luas dan jumlah penduduk tinggi. Namun, laju penurunan angka malaria terus terjadi. Artinya, kita harus optimistis bisa mencapai target Indonesia Bebas Malaria sebelum 2030,” ujar Kurniasih dalam keterangan yang diterima di Jakarta, Rabu (16/10).

Ia mengatakan hingga tahun 2023, daerah eliminasi malaria mencapai 389 kabupaten/kota dan tercatat dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) 2020–2024, pemerintah menargetkan pada 2030 seluruh daerah di Indonesia sudah bisa bebas kasus malaria.

Sementara itu, kata Kurniasih, Indonesia masih menduduki posisi kedua kasus malaria tertinggi di Asia setelah India. World Malaria Report 2023 mencatat bahwa 94 persen kematian akibat malaria di Asia terjadi di India dan Indonesia.

Kurniasih berharap di masa pemerintahan presiden terpilih, Prabowo Subianto nanti, Indonesia bisa terbebas dari kasus malaria. Ia menilai dengan melakukan percepatan dan langkah strategis berbasis kajian medis, Indonesia bebas malaria bisa tercapai di bawah tahun 2030.

Menurutnya, pemerintah pusat dan daerah harus bekerja sama secara intensif untuk mewujudkan target itu. “Kunci besarnya kerja sama intensif antara pemerintah pusat dan daerah, perbanyak surveilans, peningkatan deteksi dan kerja sama dengan elemen swasta, organisasi masyarakat untuk mempercepat eliminasi malaria di daerah,” kata dia.

Sebelumnya, Menteri Kesehatan Budi Gunadi Sadikin mengatakan bahwa perlu penguatan surveilans serta kontribusi komunitas global guna memerangi penyakit-penyakit menular yang paling banyak di dunia, yakni malaria, TBC, dan HIV.

“Karena dengan surveilans, kita mengerti siapa yang membawa penyakitnya dan kita bisa mengobatinya, dan paling penting bisa mencegah mereka menyebarkan penyakit tersebut,” kata Budi.

Budi menilai strategi terbaik untuk menyelesaikan malaria adalah dengan mencegahnya. Oleh karena itu, pihaknya menyediakan berbagai fasilitas untuk surveilans yang baik sebagai pencegahan malaria.

Adapun upaya-upayanya, kata dia, seperti membekali dengan fasilitas-fasilitas berupa tes cepat, mikroskop, serta melatih para tenaga kesehatan untuk mendeteksi penyakit secara lebih akurat. Untuk alat yang lebih canggih, juga dilengkapi dengan laboratorium PCR.

“Alatnya sudah ada, tinggal kita disiplin untuk melakukan pengecekan,” kata Budi.

Strategi kedua adalah mempercepat pengembangan vaksin malaria untuk Indonesia. Dia mengatakan, berbeda dengan COVID-19 yang vaksinnya selesai dalam 22 bulan, namun 22 tahun berlalu vaksin malaria tidak jadi-jadi. Hal itu karena malaria dianggap penyakit negara miskin, sehingga kurangnya dana menjadi masalah.

Oleh karena itu, kata dia, Indonesia ikut dalam sejumlah mekanisme pembiayaan global, seperti Global Fund dan Gavi guna mempercepat penyelesaian penyakit-penyakit menular tersebut. Adapun strategi ketiga, lanjut dia, adalah penyediaan obat malria.

Artikel ini ditulis oleh:

Arie Saputra