Dalam aksinya massa mendesak Kabareskrim baru Komjen Pol Anang Iskandar untuk mengusut korupsi di pelindo dan menangkap Dirut Pelindo II RJ Lino yang diduga terlibat korupsi pengadaan mobil crane.

Jakarta, Aktual.com — Anggota Komisi III DPR dari fraksi PDI Perjuangan Masinton Pasaribu melaporkan Direktur Utama PT Pelindo II Richard Joost (RJ) Lino ke Komisi Pemberantasan Korupsi, karena diduga memberikan hadiah kepada Menteri BUMN Rini Soemarno.

“Saya mau menyampaikan klarifikasi ke KPK perihal dugaan penerimaan gratifikasi dari Dirut Pelindo ke Menteri BUMN dalam bentuk barang. Barang itu perabotan rumah. Dokumennya lengkap di sini,” kata Masinton saat tiba di kantor KPK di Jakarta sekitar pukul 11.00 WIB, Selasa (22/9).

Masinton datang sendiri dengan membawa sejumlah dokumen. “Ini masih ‘paket hemat’, belum (yang) paket ;jumb’o, nilainya Rp 200 juta,” kata Masinton.

Namun, Masinton tidak menyampaikan untuk apa pemberian perabot tersebut. “Kita minta klarifikasinya tentang informasi dan data ini berkaitan dengan apa. Saya tidak tahu (tujuan pemberiannya) tapi yang jelas UU Tindak Pidana Korupsi (menyebutkan) penyelenggara negara, PNS, tidak boleh memberi atau menerima. Ini pemberinya jelas Dirut Pelindo, yang menerima jelas diberikan ke menteri BUMN, sesuai dengan di dokumen ini,” kata Masinton.

Dengan tegas Masinton juga menyebutkan nama menteri dan dirut Pelindo yang dia maksudkan. “Kalau ini datanya Maret 2015, Dirut Pelindonya itu sampai sekarang masih Raja Lino!. Menteri BUMNnya Rini Soemarno,” kata Masinton.

Pada saat yang bersama, masa yang tergabung serikat pekerja Jakarta International Container (JICT) juga berdemonstrasi ke KPK untuk melaporkan dugaan korupsi perpanjangan konsesi JICT oleh pelindo II kepada Hutchinson Port Holding (HPH).

“(Kami) melaporkan adanya indikasi tindak kecurangan dalam perpanjangan konsesi JICT. Kami melihat bahwa perpanjangan ini tidak mengikuti UU yang ada. UU No 17 tahun 2008 itu menyatakan konsesi ini harus dilakukan dengan izin dari Kementerian Perhubungan via otoritas pelabuhan,” kata Ketua Serikat Pekerja JICT Nofa Sofyan.

Sebagaimana dipaparkan Nova, angka penjualan ini jauh lebih rendah dari nilai yang muncul pada 1999 ketika JICT pertama kali diprivatisasi, yakni 243 juta Dollar AS, dan jumlah itu setara dengan keuntungan JICT dalam dua tahun. Dia menilai, ada potensi pendapatan Rp 35 triliun yang hilang saat JICT dijual Lino.

“Alibi Lino soal market yang akan dibawa pergi HPH merupakan pembodohan publik. Kita semua tahu bahwa volume peti kemas ekspor impor ditentukan oleh perdagangan internasional antar Indonesia dengan negara lain, bukan operator asing seperti Hutchison,” kata dia.

Nova menjelaskan, wacana penjualan JICT sudah dimulai Lino sejak 27 Juli 2012 melalui surat HK.566/14/2/PI.II-12 kepala CEO Hutchison. Hal ini dirasa janggal mengingat kontrak baru akan berakhir pada 2019. Lino, juga dianggap melanggar ‘good corporate governancek dengan berbohong soal tender terbuka. “Iklan Perpanjang konsesi JICT tanggal 8-9 Agustus 2014 di beberapa media nasional seperti Kompas, Bisnis Indonesia, dan lain-lain, memberitahukan bahwa perpanjangan konsesi JICT tidak ditender,” kata dia.

Nova pun menuding, jika Lino telah menerima gratifikasi berupa suvenir senilai Rp 50 juta dari Managing Director Hutchison Canning Fok. Pemberian terjadi setelah final meeting perpanjang konsesi JICT di Hongkong, 25 Juni 2015.

Serikat Pekerja, kata dia, heran dengan Lino yang mereka anggap telah mengkerdilkan bangsa sendiri karena tidak memberi kesempatan anakbangsa mengelola gerbang ekon nasional JICT. Mereka berpendapat, Lino seharusnya bisa menjadikan kepentingan nasional menjadi pertimbangan utama dalam mengambil keputusan strategis.

“Toh Lino sudah dapat global bond 1,6 miliar Dollar ASuntuk bangun proyek-proyeknya, lantas untuk apa JICT sebagai gerbang ekonomi kedaulatan ekonomi nasional dijuak untuk 20 Tahun ke depan?” kata dia.

Artikel ini ditulis oleh:

Wisnu