Jakarta, Aktual.co — Aturan yang mewajibkan seluruh angkutan umum termasuk angkutan kota (angkot) harus berbadan hukum masih menjadi polemik di kalangan para pemiliknya, karena harus ada perubahan nama atau status kepemilikan dari perorangan menjadi lembaga.
Syaifulloh, sopir sekaligus pemilik dua unit angkot trayek 15, di Bogor, Jawa Barat Sabtu mengatakan, dari dua unit angkot yang dimiliki ia mampu mencukupi kebutuhan keluarganya hingga bisa membangun rumah.
“Apa setelah kita menyerahkan STNK dan BPKB atas nama badan hukum, hidup kita bisa lebih sejahtera dari sebelumnya,” katanya.
Menurut Syaifulloh lebih lanjut, saat ini para pemilik angkot hanya bisa pasrah, karena kewajiban berbadan hukum sudah menjadi aturan pemerintah kota yang harus ditaati.
Hal senada disampaikan Djaya Suprana, koordiantor Koperasi Kosapak. Ia mengatakan, kebanyakan para pemilik angkot termasuk sopir tidak memiliki sumber usaha lain, sehingga ketika angkot mereka berubah menjadi milik badan hukum ada timbul kekhawatiran.
“Kami mengharapkan jangan ada aturan badan hukum yang merugikan pemilik,” katanya.
Wakil Sekretaris Organda Kota Bogor, Jawa Barat, Yadi Indra Mulyadi menyebutkan, polemik tersebut terjadi karena belum ada jaminan dari pemerintah untuk kesejahteraan para pemilik dan sopir angkot.
“Salah satu aturan dalam badan hukum ini, STNK dan BPKB kendaraan harus menggunakan nama badan hukum. Ini yang menjadi cacatan para pemilik,” katanya.
Menurut Yadi, sejumlah pemilik angkot masih mempertanyakan jaminan apabila angkot mereka berganti nama menjadi milik badan hukum akan menjamin kesejahteraan mereka.
“Ada kekhawatiran, karena mereka membeli sendiri angkotnya lalu ada aturan yang mengharuskan kepemilikan angkot menjadi badan hukum, apa ada kompensasi untuk itu,” kata Yadi.
Kekhawatiran itu, lanjut Yadi, karena selama ini dengan mengelola angkot sendiri, pemilik sudah mendapatkan keuntungan yang memadai.
Sehingga, para pemilik menginginkan adanya jaminan apakah setelah berbadan hukum dan menyerahkan kepemilikkan angkot kepada lembaga mereka akan hidup lebih sejahtera dari sebelumnya.
“Polemik ini yang masih kita (Organda) jadikan catatan, ada beberapa saran agar badan hukum bisa dibentuk yang akan kita usulkan ke Organda Provinsi dan Pusat,” kata Yadi.
Usulan itu, katanya lebih lanjut, yakni cukup STNK saja yang diubah atas nama badan hukum, sedangkan BPKB tetap nama pemilik kendaraan.
“Tapi ini sulit, karena sudah menjadi aturan dalam undang-undang untuk membentuk badan hukum. Setiap STNK dan BPKB harus atas nama badan hukum,” katanya pula.
Usulan lainnya, pemberian subsidi oleh pemerintah daerah, agar pajak yang dibebankan kepada badan hukum ditiadakan.
Sehingga badan hukum memiliki konsentrasi penuh untuk mensejahterakan anggotanya dan melayani masyarakat dengan menyediakan fasilitas angkutan umum yang aman dan nyaman.
“Pemerintah pusat melalui peraturan sudah memberikan subsidi potongan pajak 70 persen bagi angkot berbadan hukum. Hendaknya sisa 30 persen pajak ini digratiskan oleh pemerintah daerah melalui subsidi,” kata Yadi.
Kewajiban angkot berbadan hukum merupakan amanat dari Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan.
Pemerintah Kota Bogor telah mengeluarkan surat edaran bahwa batas waktu diberlakukannya badan hukum hingga Agustus 2015.
Angkutan umum yang belum bergabung dalam badan hukum, baik itu koperasi, PT, BUMD, maupun BUMN tidak akan dapat memperpanjang izin operasionalnya.
Selain itu, Pemerintah Kota Bogor memiliki program penataan transportasi dan lalu lintas dengan melakukan merger, rerouting (pengalihan) trayek angkot, serta sistem satu arah. Salah satu persiapannya diawali dengan pembentukan badan hukum.
Berdasarkan data dari DLLAJ, jumlah angkot di Kota Bogor mencapai 3.412 unit, terdiri atas 23 trayek dengan jumlah pemilik sekitar 2.000 orang.
Hingga kini baru empat badan hukum yang terbentuk, terdiri atas tiga koperasi dan satu BUMD Trans Pakuan.
Artikel ini ditulis oleh:
Andy Abdul Hamid