Jakarta, Aktual.com – Direktorat Jenderal Pengelolaan Pembiayaan dan Risiko (DJPPR) Kementerian Keuangan beberapa hari lalu mengumumkan total utang Indonesia sampai November 2016 mencapai Rp3.485,4 triliun. Jumlah ini naik siginifikan, yaitu Rp45,58 triliun, ketimbang posisi Oktober senilai Rp3.439,8 triliun.
Utang itu berasal dari utang luar negeri sebesar Rp744,38 triliun atau sekitar US$54,88 miliar. Sisanya yang Rp2.740,98 triliun atau setara US$202,09 miliar bersumber dari penerbitan Surat Berharga Negara (SBN).
Bagaimana kita memaknai angka-angka ini? Satu hal yang pasti, jumlah utang kita terus-terusan membengkak. Jumlahnya sudah superjumbo serta mengerikan. Dan, tentu saja, namanya juga utang, ya harus dibayar. Pertanyaannya, siapa yang harus membayar?
Saya sengaja menyebut “utang kita”, karena pada hakekatnya utang yang dibuat para petinggi negeri itu menjadi beban kita, rakyat Indonesia. Kendati tidak tahu-menahu dan tidak menikmati (secara langsung), rakyatlah yang sejatinya menanggung dan harus membayar utang tersebut. Para pejabat publik tadi mungkin juga tahu benar soal ini. Tapi, seberapa jauh mereka itu menaruh empati kepada rakyatnya, itu perkara lain.
Dengan utang hampir Rp3.500 triliun, maka tiap jiwa penduduk menanggung utang Rp13,9 juta. Jumlah ini termasuk menjadi beban bayi yang baru lahir. Anda bisa bayangkan, tiap jiwa dari kita, rakyat Indonesia, punya utang Rp13,9 juta. Padahal, kita sama sekali tidak tahu kapan dan untuk apa utang itu dibuat. Kesepakatan apa saja yang diambil, apa saja syarat-syaratnya, siapa dapat apa serta berapa banyak, dan seterusnya dan seterusnya.
Sungguh, utang itu jumlahnya yang banyak. Teramat banyak. Pemerintah melalui Menko Perekonomian Darmin Nasution atau Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati, boleh saja menyatakan, jumlah utang itu masih aman. Apalagi kalau main-main dengan rasio produk domestik bruto (PDB), yang konon berada di angka 60%, tentu jumlah tersebut masih sangat aman sekali. Lha wong PDB kita sudah sekitar Rp12.000 triliun, kok.
Tapi, berpegang dengan rasio utang versus PDB jelas sikap sembrono. Berapa banyak kisah negara lain yang terus-terusan menggali utang karena dalih rasio utang dan PDB-nya masih lebar, tiba-tiba kolaps. Yunani, misalnya, adalah contoh bagus dari pemerintah yang terlena dengan rasio ini. Yunani akhirnya terpaksa menyatakan diri sebagai negara bangkrut karena tidak mampu membayar utang-utangnya.
Satu hal yang pasti, kendati tergolong aman Pemerintah tidak boleh serampangan lagi dan lagi membuat utang-utang baru. Pemerintah harus benar-benar memperhatikan tingkat kemampuan bayar utang. Kehati-hatian ini penting, agar ruang fiskal di APBN limbung karena ludes untuk membayar bunga dan cicilan pokoknya.
Sayangnya, kondisi ruang fiskal APBN kita sudah kadung supermepet. Paling tidak, begitulah pengakuan Sri pada Agustus tahun silam. Waktu itu dia bahkan mengakui bahwa RAPBN 2017 tidak sehat. Pasalnya,terjadi defisit keseimbangan primer senilai Rp109 triliun. Angka ini lebih tinggi dibandingkan Rp Rp106 triliun pada APBNP 2016. Dalam bahasa awamya, Pemerintah harus berutang untuk membayar utang lama.
Di sisi lain, jumlah utang yang terus menggelembung ini sebetulnya menjadi paradoks dari keyakinan Presiden Jokowi. Masih ingat saat kampanye Pilpres, mantan Walikota Solo ini dengan yakin berulang-ulang mengatakan;“ayo kerja, kerja, kerja. Jangan khawatir, uangnya ada.” Kini, dia harus pusing tujuh keliling karena ternyata uangnya tidak ada!
Takdir Allah Yang Maha Kuasa juga rupanya yang berlaku. Jokowi punya Menkeu Sri Mulyani. Di tengah kebingungan kas yang nyaris melompong, Ani, begitu dia biasa disapa, tampil sebagai ‘penyelamat’. Perempuan yang sempat digadang-gadang menjadi Capres pada 2014 itu melakukan sejumlah langkah ‘berani’. Pertama, dia memangkas anggaran banyak pos kementerian dan lembaga(K/L). kedua, dia cari utangan.
Soal pangkas-memangkas anggaran, gunting Ani ternyata sangat tajam. Paling tidak, rekam jejak dia memang begitu. Pada perubahan kedua APBN 2016, misalnya, akhir Juli 2016 Ani telah memotong belanja kementerian dan lembaga (K/L) sebesar Rp65triliun. Masih dianggap cukup, dia juga mengurangi dana bagi hasil dan transfer khusus ke daerah hingga Rp68,8 triliun. Dengan demikian, gunting Ani telah memangkas anggaran sebesar Rp133,8 triliun. Bukan main…
Akibat pemotongan anggaran gede-gedean itu, yang kelimpungan bukan Cuma menteri dan para pembantunya, tapi juga Jokowi. Bagaimana tidak, selama kampanye Presiden yang oleh Megawati disebut petugas partai itu bolak-balik janji akan menggenjot pembangunan infrstruktur. Lha, kalau anggarannya digunduli sedemikian rupa, mau mengongkosi pembangunan dengan apa? Pakai daun? Pada saat yang sama, gerojokan fulus dari Cina yang didamba-damba, ternyata seret. Pusinglah dia!
Bunga supertinggi
Untuk urusan kedua, mencari utangan, Ani bisa disebut jagoannya. Tapi, suksesnya dalam menggaet pinjaman ternyata lebih banyak disebabkan iming-iming bunga yang disorongkannya luar biasa menarik karena rajin mencari pinjaman dengan menawarkan bunga supertinggi.
Pada 2008, Indonesia menerbitkan global bond di New York sebesar US$2 miliar dengan tenor 10 tahun. Bunga yang diberikan 6,95%. Ini bunga obligasi negara tertinggi yang diberikan oleh negara ASEAN. Sebagai perbandingan, suku bunga global bond yang diterbitkan Malaysia waktu itu cuma 3,86%, Thailand 4,8%. Bahkan Filipina, yang selama ini dikenal sebagai The Sick Man in Asia, bunganya hanya 6,51%.
Yang lebih hebat lagi, pada 2009, untuk menambal defisit APBN, Ani kembali menerbitkan global bond senilai US$3 miliar. Globalbond itu terbagi dua; US$2 miliar berjangka waktu 10 tahun dengan bunga 11,75% dan US$1 miliar berjangka waktu lima tahun berbunga 10,5%.
Pada saat yang sama, Filipina menangguk dana dari pasar internasional sebesar US$1,5 miliar dengan bunga hanya 8,5% saja! Bunga obligasi Indonesia cuma kalah dari Pakistan, negara yang kerap diguncang ledakan bom, yang 12,5%.
Penjualan obligasi dengan bunga supertinggi itu tentu saja laris-manis. Investor asing giat memburu obligasi Indonesia. Menurut data Asia Bond Online yang dirilis Asian Development Bank (ADB), Indonesia tertinggi dalam hal komposisi dana asing dalam bentuk obligasi di ASEAN. Akaibatnya, saat itu aliran dana asing yang masuk ke Indonesia mencapai 29,65%.
Data Direktorat Jenderal Pengelolaan Utang Kementerian Keuangan malah lebih mengerikan lagi. Sampai pertengahan Maret 2013 saat Sri Mulyani jadi Menkeu, porsi asing di pasar surat berharga negara (SBN) telah mencapai Rp285 triliun atau 33% dari total SBN senilai Rp854 triliun.Gampang ditebak, terus menggelembungnya komposisi asing dalam penguasaan obligasi Indonesia adalah karena bunga yang ditawarkan memang amat menggiurkan.
Bunga obligasi yang supertinggi itu jelas sangat merugikan negara. Bunganya pasti membebani APBN, dan juga memaksa korporasi Indonesia membayar bunga obligasi yang lebih tinggi lagi karena obligasi negara merupakan benchmark.
Menambal defisit APBN dengan mencari utangan adalah cara gampangan. Maksudnya, Pemerintah malas dan cenderung mencari enaknya saja. Bukankah mereka yang kini menggenggam kekuasaan adalah para cerdik pandai. Di Kementerian Keuangan, misalnya, adalah gudangnya para doktor ekonomi jebolan universitas bergengsi, bukan cuma nasional tapi juga internasional.
Seharusnya, dengan pendidikan tinggi menjulang dan amanat di pundak, mereka berpikir keras bahkan ekstra keras, mencari upaya terobosan. Membuat utang dan menjual saham BUMN adalah cara-cara ‘primitif’yang bisa dilakukan anak kuliahan semester-semester awal. Tidak percaya? Beri mereka stempel Garuda Pancasila (baca kekuasaan dan wewenang) lalu kita lihat, berapa banyak utang yang bisa mereka buat dan berapa banyak BUMN yang sahamnya dilego ke asing dan aseng.
Please, deh, anda jangan minta saya memberi solusi bagaimana caranya menambal defisit APBN yang baik dan benar. Lha, yang jadi pejabat publik kan bukan saya. Lagi pula, memangnya mereka mau menjalankan saran-saran saya untuk soal ini. Bukankah orang-orang itu adalah para pejuang dan pelaksana mahzab neolib yang gigih dan taat? Mazhab yang amat doyan menyerahkan segala sesuatunya kepada mekanisme pasar, walau untuk itu harus mengorbankan kepentingan bangsa dan rakyatnya sendiri.
Sori, bro. Saya bukan neolib! (*)
Oleh: Edy Mulyadi, Direktur Program Center for Economic and Democracy Studies (CEDeS)
Artikel ini ditulis oleh: