Jakarta, Aktual.com – Pemerintah Provinsi DKI Jakarta seharusnya melakukan langkah strategis untuk menyelamatkan Jakarta dari bencana penurunan muka tanah (land subsidences) dengan menghentikan dan melarang penggunaan air tanah. Hal ini Ketua Departemen Advokasi Dewan Pengurus Pusat Kesatuan Nelayan Tradisional (DPP KNTI), Nurhadi menegaskan bahwa hal ini menjadi suatu kebutuhan yang mendesak dan bertepatan dengan momentum perayaan hari air sedunia yang jatuh pada 22 Maret 2018 mendatang.

Menurut Nurhadi, ketentuan mengenai air tanah memang telah diatur dalam Keputusan Gubernur (KEPGUB) 279 Tahun 2018 tentang tentang tim Pengawasan Terpadu Penyediaan Sumur Resapan dan IPAL serta Pemanfaatan Air Tanah Di Bangunan Gedung dan Perumahan. Namun Nurhadi menyebutkan, aturan ini hanya akan menjadi sarana untuk terus membiarkan pencurian air tanah dengan insentif dan disinsentif termasuk pembayaran pajak.

“Pemprov Jakarta harusnya dengan tegas melakukan pelarangan penggunaan air tanah khususnya untuk gedung-gedung bertingkat untuk perkantoran, hotel dan apartemen,” ucap Nurhadi dalam keterangan tertulis yang diterima Aktual, Sabtu (17/3) pagi tadi.

KEPGUB 279/2018 sendiri merupakan turunan Pasal 221 ayat (2) Perda DKI Jakarta No. 1/2012 tentang RTRW 2030 dan berkaitan erat dengan Pergub No. 20 Tahun 2013 tentang Sumur Resapan. KEPGUB 279/2018 tidak bertujuan menghentikan penggunaan air tanah namun hanya bertujuan untuk melakukan pengawasan pemanfaatan air tanah.

Namun jika merujuk pada Dircke (2012) dan Brinkman (2008), lanjut Nurhadi, telah banyak kajian yang menyatakan penggunaan air tanah telah membuat penurunan tanah di Jakarta terjadi dengan cepat.

Di sisi lain, Pemprov Jakarta seakan-akan tutup mata dengan masalah privatisasi pengelolaan air minum di Jakarta yang sejak kontrak privatisasi berlaku tidak ada perbaikan dalam pengelolaan air yang malah semakin memburuk.

“Layanan pengelolaan air perpipaan hingga saat ini baru hanya menjangkau 40%-an persen penduduk Jakarta,” ungkap Nurhadi.

Nurhadi menyatakan, privatisasi pengelolaan air minum memaksa masyarakat yang tidak terlayani air perpipaan bergantung air tanah untuk kebutuhan sehari-hari. Pada saat yang bersamaan, pembangunan hotel, apartemen, pusat perbelanjaan yang saling menunjang membuat muka tanah semakin ambles.

Dengan demikian, ia menegaskan dua masalah besar di Jakarta adalah pengelolaan air dan penurunan muka tanah, di mana salah satunya adalah pengambilan air tanah.

Nurhadi menggarisbawahi, kecepatan penurunan muka tanah terjadi berbeda diantara satu wilayah dengan bervariasi antara 7,5-12 cm/tahun lain. Dampak yang sangat berbahaya terjadi di wilayah pesisir Jakarta di Kota Jakarta Utara.

Namun sayangnya, tambahnya, Pemerintah Pusat dan Pemerintah Provinsi Jakarta tetap mendorong solusi yang tidak tepat dengan membangun Tanggul Laut Raksasa yang dimanipulasi sebagai satu-satunya pelindung banjir rob akibat dari penurunan muka tanah.

“Pajak terhadap air tanah tidak akan dapat menyelesaikan masalah pengambilan air tanah. Pemprov DKI Jakarta harusnya mengambil langkah yang lebih strategis dengan dengan tegas menghentikan dan melarang pencurian air tanah. Pemrov Jakarta tidak lagi membicarakan pajak, insentif dan disinentif fiskal terhadap penggunaan air tanah,” ucap salah satu penggugat privatisasi air di Jakarta ini.

Nurhadi pun meminta Pemprov DKI Jakarta untuk menghentikan privatisasi pengelolaan air sebagaimana perintah Putusan Mahkamah Agung Nomor 31 K/PDT/2017 14 Oktober 2017 serta memastikan akses atas air minum dengan meningkatkan pelayanan air minum perpipaan segera dipenuhi oleh Pemerintah.

Artikel ini ditulis oleh:

Editor: Teuku Wildan