Jakarta, aktual.com – Beberapa hari terakhir, sebuah video pendek yang beredar luas di media sosial menuai sorotan dan respons emosional dari berbagai kalangan. Video itu berasal dari jurnalis Gaza, Abdullah Al-Sharif. Melalui narasi visual dan simbolik yang kuat, ia menyampaikan kritik terhadap situasi global, khususnya menyangkut konflik di Gaza, aliran dana haji, dan hubungan diplomatik beberapa negara Arab dengan Amerika Serikat dan Israel.

Video ini—yang disampaikan secara artistik dan satir—menyandingkan realitas tragis pemboman Gaza dengan aktivitas jutaan umat Islam yang sedang melaksanakan ibadah haji. Satu sisi menunjukkan penderitaan; sisi lain memperlihatkan kekhusyukan. Namun narasi visual ini tidak dimaksudkan untuk mengolok-olok ibadah, melainkan untuk menggugah kesadaran moral kolektif, termasuk terhadap aliran dana haji yang sangat besar dan peran geopolitik negara-negara yang mengelolanya.

Reaksi dan Interpretasi

Video ini disebut-sebut menimbulkan ketegangan politik, bahkan memicu kemarahan beberapa pihak di kalangan pemerintah Arab. Namun hingga artikel ini ditulis, belum ada pernyataan resmi dari kerajaan-kerajaan Arab yang secara langsung menanggapi video tersebut. Kemarahan yang timbul bisa dimaknai secara beragam: apakah itu bentuk penolakan terhadap kontennya, atau rasa terusik karena fakta-fakta yang diungkap menyentuh sisi-sisi yang selama ini cenderung diredam?

Dari perspektif komunikasi politik, video semacam ini mengandung daya gugah yang tinggi. Ia menyentuh wilayah simbolik yang selama ini dilindungi oleh otoritas, termasuk otoritas spiritual dan finansial. Apabila kritik itu dianggap berlebihan, maka dialog yang sehat perlu dibuka, bukan dibungkam.

Haji, Kapitalisme, dan Tanggung Jawab Moral

Ibadah haji adalah kewajiban suci umat Islam. Namun, biaya besar yang dibayarkan oleh jutaan jamaah setiap tahun juga menjadikan kegiatan ini sebagai salah satu sumber pendapatan negara paling besar di kawasan Arab. Pertanyaannya bukan soal sah atau tidaknya ibadah tersebut, tetapi ke mana dana itu diarahkan? Apakah sepenuhnya digunakan untuk kebaikan bersama umat, atau justru berkontribusi pada sistem global yang—secara langsung maupun tidak—membiayai senjata yang kemudian menghancurkan Gaza?

Pertanyaan-pertanyaan inilah yang sebenarnya ingin dibangkitkan oleh video Abdullah Al-Sharif.

Antara Nurani dan Kekuasaan

Di tengah dunia yang penuh kecanggihan media, perlawanan tak selalu harus datang dari senjata. Kadang, satu video berdurasi dua menit lebih memukul kesadaran dibanding seribu pidato diplomatik. Abdullah Al-Sharif, sebagai wartawan dan jurnalis Gaza, telah menggunakan medium yang ia miliki untuk bersuara. Apakah suaranya disetujui atau ditentang, itu soal lain. Tapi haknya untuk bersuara adalah pilar dari kebebasan pers dan tanggung jawab moral dalam dunia modern.

Jika kritik dari seorang jurnalis yang menyaksikan langsung kehancuran bangsanya ditanggapi dengan kemarahan, maka barangkali bukan kata-kata dalam video itu yang menyakitkan, melainkan kenyataan yang dipantulkan olehnya.

Kita hidup di era di mana keheningan dapat menjadi bentuk keterlibatan. Diam terhadap ketidakadilan adalah pilihan politik. Dan dalam konteks inilah, video seperti yang dibuat oleh Abdullah Al-Sharif menjadi penting: bukan untuk menyalahkan ibadah, bukan untuk menciptakan permusuhan, tetapi untuk mengaktifkan kembali nurani kita yang mungkin sedang tertidur.

Sebab kemanusiaan, pada akhirnya, bukan soal slogan tetapi tentang keberanian menyuarakan yang benar, ketika itu terasa paling berisiko.

(Muhammad Taqiyuddin Siroch.)

Artikel ini ditulis oleh:

Rizky Zulkarnain