Jakarta, Aktual.com — Kebijakan di sektor moneter sejak awal tahun sudah begitu agresif untuk dapat menggenjot pertumbuhan perekonomian nasional. Namun jika tidak diimbangi oleh kebijakan fiskal, maka dirasa akan percuma.
Pasalnya, untuk menghindari kondisi perekonomian yang menjurus bubble atau overheating, mestinya kebijakan dua sektor itu harus selaras.
“Perimbangan kebijakan moneter dan fiskal dalam merespons ketidakpastian global itu diharapkan mampu meningkatkan pertumbuhan ekonomi domestik yang berkesimabungan,” kata Deputi Gubernur BI, Perry Warjiyo dalam seminar internasional bertajuk “Structural Reforms in Emerging Asia” di Gedung BI Jakarta, Rabu (23/3).
Perimbangan kebijakan dua lembaga ini perlu dikedepankan agar tidak akan menjadi gangguan, tidak hanya bagi pembangunan nasional tapi juga daerah.
“Ini (keseimbangan dua kebijakan) harus dilakukan agar tidak menimbulkan dampak yang tidak diinginkan,” tukas dia.
Lebih lanjut Perry menambahkan, sejauh ini BI sudah menyikapi sejumlah kebijakan fiskal dengan menerbitkan beberapa monetary policy.
“Harus berimbang. Jangan sampai terjadi pemanasan ekonomi. Kami melakukan perkiraan-perkiraan itu,” ucap Perry.
Menurutnya, reformasi struktural harus diterapkan secara menyeluruh dan tidak hanya berorientasi pada pembangunan nasional, namun juga membenahi daerah. “Karena area structural reform yang paling utama adalah investasi dan infrastruktur,” tegas dia.
Perry juga mengakui, walaupun defisit transaksi berjalan di 2016 ini diperkirakan akan meningkat menjadi 2,6 persen dari PDB, namun kondisi tersebut belum membahayakan kondisi perekonomian nasional.
“Dari sisi makro ekonomi membahayakan? Tidak. Karena, (defisit transaksi berjalan) 2,5-3 persen masih oke. Tapi memang keseimbangan antara kebijakan struktural ekonomi dengan makroekonomi dan makroprudensial penting,” papar Ferry.
Jika kedua lembaga itu sigap, ia yakin dampak overheating di beberapa waktu ke depan tidak akan terjadi.
“Mari kita percepat structural reform ini. Tapi beberapa tahun ke depan kami belum melihat bahaya dalam makro ekonomi,” pungkas dia.
Artikel ini ditulis oleh:
Arbie Marwan