1. Kedudukan sebuah Lembaga Tertinggi sebagai manifestasi dari sebuah perwakilan Rakyat yakni (MPR)

2. Pasal Presiden harus orang Indonesia asli.

3. pembukaan UUD 1945,

4. Pasal 1 ayat 1 dari UUD 1945.

Konsesus dari pasal pasal diatas adalah Soko Guru, atau pondasi dari Tiang utama dari berdirinya negara. Dan ini bisa dilihat dari Sila ke empat dari Pancasila (Sebagai hukum Dasar) negara Yang berbunyi “Kerakyatan yang dipimpin Oleh hikmat kebijaksanaan dalam Permusyawaratan perwalian” dan sila ke empat dari Pancasila ini konekting dengan pasal 1 ayat (2) dari Undang Undang Dasar 1945 yang berbunyi “kedaulatan adalah ditangan rakyat, dan sepenuhnya dilakukan oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat,(MPR),

Oleh karena saking dipengaruhi semangat meniru atau terbius oleh Eurofia untuk melakukan Reformasi dan mengakhiri kekuasaan Dari Orde Baru saat itu yang dianggap KKN dengan memanfaatkan situasi terjadinya Resesi Ekonomi atas permainan Negara Negara adi daya dan eropa untuk menguasai dan mengendalikan ekonomi negara Dunia ketiga, dimana para elit politik lupa, bahwa antara Pancasila dan UUD 1945 tidak bisa dipisahkan dan merupakan satu kesatuan (Dwi Tunggal) maka dengan demikian dengan melakukan amandemen UUD 1945 hingga ke empat kali akan tetapi tidak merubah bunyi dari Dasar Negara Pancasila, maka seperti yang kita lihat dan rasakan saat ini terjadi kepincangan dalam sistem Ketatanegaraan Kita sejak Reformasi bergulir hingga saat ini.

Untuk itu untuk saat ini yang paling utama dan paling krusial yang harus diambil keputusan segera dalam membangun kembali ketatanegaraan negara kita adalah segera melakukan Amandemen terbatas yang ke V untuk mengembalikan Marwah dan aruh nya Keindonesiaan baik terhadap UUD 1945 maupun Pancasila sebagai sumber dari segala sumber Hukum, ada beberapa pasal krusial yang sepatutnya untuk dikembalikan pada kedudukan semula sesuai Format dari Undang Undang Dasar 1945 yang lama adalah sebagai berikut :

1. Kembalikan lagi rumusan Pasal 1 ayat (2) lama: “Kedaulatan adalah ditangan rakyat dan dilakukan sepenuhnya oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat”;

2. ⁠Kembalikan lagi rumusan pasal (yg lama) tentang MPR dengan kewengannya;

3. ⁠Bubarkan DPD (karena dalam pasal lama tentang MPR, sudah disebut “Utusan Daerah”). Dengan demikian, UUD 1945 menganut Sistem Perwakilan Unicameral (satu badan perwakilan yang disebut dengan MPR);

4. ⁠Bangun sistem kepartaian Dwi Partai (Be Party System) yang digolongkan dalam partai Nasionalis dan Partai Agama dimana semua partai partai politik melakukan fusi melebur sesuai dengan latar belakang dari AD/ART partai partai tersebut.

5. ⁠Bangun Sistem Pemilu dengan Sistem Distrik;

6. Kembalikan aturan presiden harus orang Indonesia Asli, dimana kita harus belajar dari latar belakang emosional dari para pendiri bangsa, bahwa saat pemerintahan Hindia Belanda masyarakat dibagi dalam kasta kasta, dan justru Orang Asli Indonesia dibesut Bumi Putera.

7. Pertegas kembali Sistem Pemerintahan Presidensiil, dengan mengembalikan lagi kewenangan Presiden yang di koptasi oleh DPR, seperti original power pembentukan Undang Undang kekuasaan ada pada Presiden dan DPR hanya menyetujui atau menolak, bahwa hak prerogatif Presiden dalam pengangkatan Pejabat setingkat menteri, seperti: Kapolri, Jaksa Agung, dan pimpinan lembaga non kementerian. rekruitment Hakim Agung, Komisi Yudisial, Anggota BPK, dan lainnya tidak lagi melibatkan DPR melalui mekanisme ‘fit n proper test’.

Hal itu sangat urgen untuk dilakukan dan sangat penting, serta mendesak dilakukan oleh pemerintahan yang baru, dengan tujuan:

1. mewujudkan stabilitas pemerintahan;

2. ⁠menjamin kelangsungan Demokrasi Pancasila;

3. ⁠menjaga keutuhan Bangsa dan NKRI ;

4. ⁠mengurangi beban negara buat cost partai politik yang justru menimbulkan kegaduhan.

5. ⁠mencegah praktek-praktek korupsi dengan transaksional para partai politik dengan pejabat publik.

Sementara itu, Guru Besar Hukum Tata Negara paling Senior dari Universitas Padjadjaran Bandung, Prof. Dr. I Gde Pantja Astawa, menyatakan kepada penulis bahwa seperti yang pernah saya bilang, adalah Presiden Soekarno yang punya obsesi untuk mengelompokkan 2 kelompok masyarakat secara sosiologis, yaitu Nasionalis dan Agama (Islam, khususnya). Hanya memang saat itu Partai Komunis Indonesia (PKI) sudah eksis dan punya basis massa yang kuat dan besar: Petani dan Kaum buruh, jadilah kemudian 3 kekuatan besar itu disatukan menjadi yang dikenal dengan NASAKOM untuk menunjukkan kepada dunia internasional bahwa Presiden Soekarno ditopang oleh 3 (tiga) kekuatan besar itu. Hanya sayangnya, presiden Soekarno tidak mudah memainkan irama politik agar ada harmonisasi di antara 3 (tiga) kekuatan besar itu, jadilah sejarah berkata dan berkehendak lain.

Kini, komunis sudah dead (Tamat bahkan diseluruh dunia), tinggal 2 (dua) Kekuatan besar yang masih eksis, mengapa dan kenapa mereka tidak mengorganisasikan dirinya menjadi 2 (dua) Partai besar sesuai dengan idiologinya dengan menegaskan Asasnya: Pancasila

Juga perlu dipikirkan yang diatur dalam Konvensi Ketata negaraan agar pemilihan langsung presiden oleh rakyat mengingat cost yang begitu tinggi dikembalikan lagi pemilihan kepada Partai Politik, dimana Partai Politik pemenang itulah yang berhak mengajukan Calon Presiden terpilih dimana MPR sebagai mandataris Presiden tinggal ketok palu mengesyahkan.

Demikian Prof Gde menerangkan.

Atas permintaan dan masukan berbagai pihak agar mengembalikan UUD 1945 secara murni dan konsekuen secara total, sangat sulit dilakukan setelah bergulir sekian puluh tahun dan harus menyesuaikan kondisi Geo Politik Dunia dalam Penghormatan Hak asasi Manusia, yang mana sudah banyak sekali lembaga baru seperti Mahkamah Kontitusi, maka yang paling rasional yang paling terbaik dilakukan adalah dengan Amandemen Terbatas melalui amandemen ke V, terhadap Undang Undang Dasar 1945, agar bisa konek dan singkron dengan sila sila dari Pancasila khususnya Sila ke IV dari Pancasila menyangkut sistem aturan kerakyatan dalam perwakilan.

Oleh : Agus Widjajanto, Pemerhati Sosial, Budaya, Politik, hukum dan Sejarah Bangsanya.

Artikel ini ditulis oleh:

Tino Oktaviano