Ilustrasi seseorang sedang membaca al Quran

Jakarta, aktual.com – Menghadiahkan pahala untuk orang yang sudah meninggal dunia dari orang tua, kerabat, atau umat muslim secara umum adalah sebuah pembahasan yang sudah menjadi agenda rutin setiap tahunnya.

Permasalah ini muncul dari perbedaan ulama’ dalam memahami sebuah hukum fiqh yang diambil dari sumber-sumber hukum islam atau yang lebih dikenal oleh ulama’ dengan istilah “dalil”. Secara ringkas, dalil yang dimaksud dalam pengertian ulama’ adalah Al-Qur’an, Al-Hadist, Al-Ijma’, Al-Qiyas. Dari ke empat dalil inilah hukum-hukum beragama dalam agama islam diambil.

Meskipun jika kita ingin mendalami lebih dalam lagi, dali-dalil dalam menentukan sebuah hukum tidak terpatok dengan empat dalil tersebut, melainkan ada banyak lagi dalil-dalil yang lain.

Adapun permasalahan menghadiahkan pahala kepada orang yang sudah meninggal adalah perbedaan pendapat yang sudah lama terjadi diantara para  ulama’ empat madzhab. Dalam beberapa kurun waktu dekat ini masalah ini mulai ramai kembali diperbincangkan, setelah sekian lama amalan ini sudah menjadi tradisi yang dilakukan oleh umat muslim di Indonesia pada umumnya dan umat muslim yang mengikuti organisasi Nahdlatul Ulama’ secara khusus.

Pemicu utama adanya perdebatan dalam masalah ini adalah ketika saudara muslim dari aliran “Wahabi” atau “salafi” mengatakan bahwa amalan yang sudah menjadi tradisi ummat muslim di Indonesia ini sebagai amalan bid’ah atau amalan yang baru dalam agama islam dan tidak memiliki landasan dalil yang sesuai.

Sudah pasti konotasi yang disampaikan oleh saudara muslim dari kaum wahabi menjadikan amalan ini berkonotasi negatif. Sehingga memicu pro dan kontra diantara umat muslim Indonesia.

Pada kesempatan kali ini kita akan membahas secara singkat tentang amalan ini dengan merujuk kepada kitab karangan dari ulama Indonesia dengan judul “Hujjatu Ahlis Sunnah Wal Jama’ah” karya dari Al-Allamah KH. Ali Ma’sum Al Jogjawi, dan kitab “ Taudhihul Bayan Li wusuhuli Tsawabil Al-Qur’an” karya dari Al Imam Al Allamah Al Muhaddist As-Syaikh Abdullah bin Shiddiq Al Ghumari Al Hasani Al Magribi.

Adapun pembahasan yang akan kita bahas pada kesempatan kali ini meliputi:

1. Mengetahui perkataan Ulama Madzahib Al Arba’ah dalam permasalahan ini.

2. Dalil-dalil atau hujjah yang digunakan oleh para ulama’ berkenaan dengan permasalahan ini.

3. Kesimpulan hukum dari permasalahan ini.

Seperti yang sudah disinggung di awal bahwa para ulama’ berbeda pendapat tentang sampainya bacaan Al Qur’an yang dihadiahkan kepada orang yang sudah meninggal.

Setelah sebelumnya para ulama’ bersepakat tentang diperbolehkanya dan sampainnya pahala haji dan shadaqah yang dihadiahkan kepada orang yang sudah meninggal.

Dalam istilah Ushul Fiqh disebut dengan “ Al ijma’ ” atau kesepakatan yang terlahir diantara para ulama’ tentang hukum permasalahan tertentu. Dan ijma’ sendiri merupakan salah satu dari dalil-dalil yang digunakan para ulama’ untuk menghukumi sesuatu.

Adapun secara garis besar ulama’ terpecah menjadi dua kelompok dalam menghukumi masalah ini. Kelompok yang pertama berpendapat bahwa bacaan Al Qur’an yang dihadiahkan kepada mayit akan sampai. Sedangkan kelompok yang kedua berpendapat sebaliknya.

Berikut beberapa pendapat ulama’ dalam masalah ini:

1. Al Imam Muhammad bin Idriss As Syafi’i ( Sohib Madzhab As Syafi’iyah) dalam salah satu riwayatnya berpendapat bahwasanya bacaan Al Qur’an yang dihadiahkan kepada mayit tidak sampai.

2. Sebagian besar ulama’ al mutaqaddimin dari Madzhab Malikiyah termasuk didalamnya Al Imam Ibnu Rusydi berpendapat bahwasanya bacaan tersebut tidak sampai kepada mayit. Ibnu Farhun meriwayatkan bahwa pendapat yang mengatakan bahwa pahalanya sampai kepada mayit adalah pendapat yang Rajih dalam kata lain adalah pendapat yang kuat, dan yang sesuai dengan dalil.

3. Sebagian besar ulama’ madzah mu’tazilah berpendapat bahwasanya bacaan tersebut tidak sampai.

4. Sebagian besar pengikut madzhab syafi’iyah mengatakan bahwasanya bacaan tersebut sampai kepada mayit, termasuk didalamnya Al Imam Syarafuddin An Nawawi, Al Imam Ibnu Hajar Al Atsqalani, dan Al Qadhi Abu Thayyib.

5. Al Imam Ahmad bin Hanbal berpendapat bahwa bacaan tersebut sampai kepada mayit.

6. Madzhab Hanafiyah secara umum mengatakan bahwa bacaan tersebut sampai kepada mayit.

7. Ibnu taimiyah dan Ibnu Qayyim berpendapat bahwa bacaan tersebut sampai kepada mayit.

8. Al Imam Zamakhsyari ( Imam pengikut madzhab Al Mu’tazilah dan juga pengarang kitab tafsir fenomenal dengan judul Al Kasyaf) berpendapat bahwa bacaan tersebut sampai kepada mayit.

Adapun dalil yang digunakan sebagian ulama’ yang berpendapat bahwa bacan Al Qur’an yang dihadiahkan kepada mayit tidak sampai, secara garis besar adalah ayat Al Qur’an yang terdapat di surat An Najam ayat 39 yang berbunyi:

( وَاَنْ لَّيْسَ لِلْاِنْسَانِ اِلَّا مَا سَعٰىۙ ۝٣٩)

yang berarti “bahwa manusia hanya memperoleh apa yang telah diusahakannya”. Sebagian dari mereka menjadikan ayat ini sebagai dalil bahwasannya manusia akan mendapatkan pahala atau dosa sesuai dengan perbuatan amal masing-masing.

Kemudian sebagian dari mereka juga mengatakan bahwa hal tersebut tidak pernah dilakukan oleh para sahabat, sehingga kalau memang perbuatan itu diperintahkan dalam agama seharusnya para sahabatlah yang pertama kali akan melakukannya. Dan bagian yang tidak kalah penting adalah ketika mereka membedakan antara ibadah yang bersifat “ Badaniyah” dan ibadah yang bersifat “Maliyah”.

Jika ibadah yang dihadiahkan kepada mayit berupa ibadah “Maliyah” atau ibadah yang berhubungan dengan uang seperti haji, shodaqah dan lain sebagainya, maka jika dihadiahkan kepada mayit, pahalanya akan sampai kepada mayit. Sedangkan ibadang yang bersifat “Badaniyah” seperti sholat, puasa, bacaan Al Qur’an dan lain sebagianya, jika dihadiahkan kepada mayit, maka pahalanya tidak akan sampai kepada mayit.

Adapun dalil yang digunakan oleh sebagian ulama’ yang mengatakan bahwa bacaan Al Qur’an yang dihadiahkan kepada mayit akan sampai, secara garis besar lebih banyak secara kuantitas dan lebih unggu secara kualitas.

Dalil-dalil tersebut juga berasal dari Al Qur’an, As Sunnah atau Hadist, Qiyas, dan kesepakatan para ulama’.

Adapun dalil yang berasal dari Al Qur’an adalah firman Allah swt yang terdapat didalam beberapa ayat, diantara ayat tersebut adalah ayat ke 82 surah Al Kahfi yang berbunyi:

وَأَمَّا ٱلْجِدَارُ فَكَانَ لِغُلَٰمَيْنِ يَتِيمَيْنِ فِى ٱلْمَدِينَةِ وَكَانَ تَحْتَهُۥ كَنزٌ لَّهُمَا وَكَانَ أَبُوهُمَا صَٰلِحًا فَأَرَادَ رَبُّكَ أَن يَبْلُغَآ أَشُدَّهُمَا وَيَسْتَخْرِجَا ”  “كَنزَهُمَا رَحْمَةً مِّن رَّبِّكَ ۚ وَمَا فَعَلْتُهُۥ عَنْ أَمْرِى ۚ ذَٰلِكَ تَأْوِيلُ مَا لَمْ تَسْطِع عَّلَيْهِ صَبْرًا

Artimya: Adapun dinding rumah adalah kepunyaan dua orang anak yatim di kota itu, dan di bawahnya ada harta benda simpanan bagi mereka berdua, sedang ayahnya adalah seorang yang saleh, maka Tuhanmu menghendaki agar supaya mereka sampai kepada kedewasaannya dan mengeluarkan simpanannya itu, sebagai rahmat dari Tuhanmu; dan bukanlah aku melakukannya itu menurut kemauanku sendiri. Demikian itu adalah tujuan perbuatan-perbuatan yang kamu tidak dapat sabar terhadapnya”.

Maka secara ringkas ayat ini telah memberikan pemahaman kepada kita bahwa kedua anak yang menempati rumah tersebut mendapatkan kemanfaatan dari orang tuanya yang sholeh.

Hal tersebut menunjukkan bahwa seseorang bisa mendapatkan kemanfaatan dari orang lain dalam segi apapun termasuk ibadah.

Sebagian ulama’ juga memberikan gambaran kepada kita dengan sholat jama’ah, dengan sholat jama’ah kita bisa mendapatkan pahala lebih banyak jika dibandingkan dengan sholat munfarid. Sedangkan didalam sholat jama’ah terdapat campur tangan dari orang lain yang ikut berjama’ah dengan kita.

Adapun ayat yang dijadikan hujjah oleh ulama’ yang berpendapat bahwa pahalanya tidak akan sampai adalah ayat yang dipermaslahkan oleh para ulama’ secara hujjah. Ada yang berpendapat bahwa ayat tersebut mansukh, kemudian ada yang berpendapat bahwa ayat tersebut sudah tidak lagi bersifat umum, bahkan ada yang bilang ayat tersebut menjelaskan ahwal dari orang kafir bukan orang mukmin.

Adapun dalil-dalil dari hadist diantaranya adalah sebagi berikut :

حَدَّثَنَا أَبُو أُسَامَةَ عَبْدُ اللَّهِ بن مُحَمَّدِ بن أَبِي أُسَامَةَ الْحَلَبِيُّ، حَدَّثَنَا أَبِي ح، وَحَدَّثَنَا إِبْرَاهِيمُ بن دُحَيْمٍ الدِّمَشْقِيُّ، حَدَّثَنَا أَبِي ح، وَحَدَّثَنَا الْحُسَيْنُ بن إِسْحَاقَ التُّسْتَرِيُّ، حَدَّثَنَا عَلِيُّ بن بَحْرٍ، قَالُوا: حَدَّثَنَا مُبَشِّرُ بن إِسْمَاعِيلَ، حَدَّثَنِي عَبْدُ الرَّحْمَنِ بن الْعَلاءِ بن اللَّجْلاجِ، عَنْ أَبِيهِ، قَالَ: قَالَ لِي أَبِي:”يَا بنيَّ، إِذَا أَنَا مُتُّ فَأَلْحِدْنِي، فَإِذَا وَضَعْتَنِي فِي لَحْدِي، فَقُلْ: بِسْمِ اللَّهِ وَعَلَى مِلَّةِ رَسُولِ اللَّهِ، ثُمَّ سِنَّ عَلَيَّ الثَّرَى سِنًّا، ثُمَّ اقْرَأْ عِنْدَ رَأْسِي بِفَاتِحَةِ الْبَقَرَةِ، وَخَاتِمَتِهَا، فَإِنِّي سَمِعْتُ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُولُ ذَلِكَ”.

Artinya: “Wahai anakku, jika aku meninggal dunia, maka letakkanlah aku dalam liang lahat. Ketika engkau telah meletakkanku di dalamnya, ucapkanlah: ‘Bismillah wa ‘ala millati Rasulillah’ (Dengan nama Allah dan di atas agama Rasulullah). Kemudian ratakanlah tanah di atasku dengan lembut. Setelah itu, bacakanlah di dekat kepalaku Surah Al-Baqarah bagian awal dan akhirnya. Karena sesungguhnya aku pernah mendengar Rasulullah ﷺ bersabda demikian.” (Riwayat Al Imam At Thabrani didalam Mu’jam Al Kabir)

عن عبد الله بن عمر قال : سمعت النبي صلى الله عليه وسلم يقول : ” إذا مات أحدكم فلا تحبسوه ، وأسرعوا به إلى قبره ، وليقرأ عند رأسه فاتحة البقرة ، وعند رجليه بخاتمة البقرة “

Artinya: “Jika salah seorang di antara kalian meninggal dunia, maka janganlah menahannya (jangan menunda penguburannya), segerakanlah ia ke kuburnya. Hendaklah dibacakan di dekat kepalanya Surah Al-Baqarah bagian awal dan di dekat kakinya Surah Al-Baqarah bagian akhir.” ( Riwayat Al Imam Al Baihaqi).

عن عبد الله بن عمر قال : سمعت النبي صلى الله عليه وسلم يقول : ” إذا مات أحدكم فلا تحبسوه ، وأسرعوا به إلى قبره ، وليقرأ عند رأسه فاتحة الكتاب”

Artinya: “Jika salah seorang di antara kalian meninggal dunia, maka janganlah menahannya (jangan menunda penguburannya), segerakanlah ia ke kuburnya, dan hendaklah dibacakan di dekat kepalanya Surah Al-Fatihah.” (Riwayat Al Imam At Thabrani).

Selain dari hadist-hadist diatas, terdapat banyak lagi hadist yang lain berkenaan dengan sampainya pahala ibadah yang bersifat badaniyah ataupun maliyah kepada mayit jika diniatkan untuk hadiah, yang tidak mungkin dijelaskan satu per satu dalam satu waktu.

Adapun dalam dalil Qiyas, secara ringkas para ulama’ yang berpendapat bahwasanya pahala bacaan Al Qur’an yang dihadiahkan kepada mayit akan sampai adalah “Qiyas Jali”.

Mereka meng-qiyaskan sampainya bacaan Al Qur’an dengan sampainya pahala haji dan shadaqah kepada mayit. Mereka juga tidak membedakan antara ibadah badaniyah dan ibadah maliyah. Dikarenakan tidak ada perbedaan diantara keduanya. Untuk lebih detailnya bisa merujuk kepada Ilmu Ushul tentang Qiyas Jali. Karena kita tidak sedang dipembahasan tersebut.

Dari apa yang disebutkan di atas kita bisa mengambil beberapa kesimpulan diantaranya adalah permasalahan ini merupakan permasalahan fiqh yang sifatnya ijtihadiah furu’iyah.

Sehingga wajar apabila terjadi perbedaan perndapat diantara para ulama’ tentang menghukumi permaslahan ini. Sehingga tidak diperbolehkan bagi seorang muslim untuk menghina atau bahkan menguhukumi saudaranya sesama muslim dengan kafir,syirik,bid’ah dan lain sebagainya.

Kemudian, bahwa sebagian besar ulama’ telah berpendapat bahwasanya pahala ibadah yang dihadiahkan kepada mayit akan sampai. Pendapat ini dalah pendapat yang kuat dan ditunjang dengan dalil-dalil yang lebih unggul secara kualitas maupun kuantitas seperti yang telah dijelaskan diatas.

Kemudian, bahwasanya tidak ada satu dalil-pun berasal dari Al Qur’an, Al Hadist yang mengatakan keharaman menghadiahkan pahala bacaan Al Qur’an kepada mayit. Bahkan Imam yang saudara kita agungkan dan seringkali dijadikan rujukan utama yaitu Ibnu Taimiyah dan Ibnu Qayyim mengatakan bahwa pahala tersebut akan sampai.

(Munir)

Artikel ini ditulis oleh:

Rizky Zulkarnain