Beranda Nasional Apakah Presiden Indonesia Harus Orang Jawa dan Islam?

Apakah Presiden Indonesia Harus Orang Jawa dan Islam?

Presiden Joko Widodo atau Jokowi melakukan selfie bersama Menteri Pertahanan Prabowo Subianto dan Gubernur Jawa Tengah Ganjar Pranowo saat panen raya di Kebumen, Jawa Tengah (Biro Pers Istana)

Suroto | Pakar Koperasi dan Ketua AKSES Indonesia

Dalam konteks politik praktis nasional, manusia begitu lahir di Indonesia ini akan diberikan hak politik istimewa secara given (secara cuma Cuma) jika kamu lahir sebagai keturunan orang Jawa, anggota keluarga keraton Solo, Mangkunegaran, atau Jogja, atau menjadi Islam dan bagian dari keluarga besar pendiri NU, Muhamadiyah, atau menjadi anak pahlawan atau anak konglomerat, atau petinggi militer, elit partai. Jika lahir dalam keadaan demikian, maka kamu otomatis akan memiliki hak istimewa secara politik di Indonesia. Ini disebut sebagai struktur politik feodal.

Di luar hak istimewa di atas, maka kamu hanya akan diperhitungkan secara  politik jika kamu punya basis massa organisasi yang cukup besar, seperti organisasi buruh, organisasi petani, dan atau lembaga swadaya masyarakat atau memiliki basis intelektual yang cukup mapan.  Ini disebut sebagai basis struktur politik prestasi.

Gabungan dari struktur feodalisme politik yang given dan prestasi akan menjadi kekuatan politik praktis yang semakin kuat. Jika anda keturunan Keraton atau keluarga elit NU, Jawa, anak pahlawan, intelek, mantan aktivis LSM, kaya raya maka anda akan memiliki kans besar untuk memiliki peranan dalam politik praktis kekuasaan.

Jika anda seorang keturunan Papua, beragama Kristen, dari keluarga ekonomi sulit namun secara intelektuil anda pintar maka sulit bagi anda untuk diperhitungkan masuk dalam kancah politik nasional. Anda yang beragama Hindu, dari Bali dan walaupun punya banyak prestasi akademik dan karya sosial, untuk bermimpi jadi Presiden Indonesia, itu tentu seperti mimpi belaka.

Struktur feodalisme di Indonesia itu rupanya sudah mengeras bahkan bersama birokrasi. Mereka diawetkan sedemikian rupa juga oleh kepentingan pemain politik internasional dan kapitalisme global. Struktur ini langgeng menjadi sistem patrimonialisme untuk mengefisiensikan biaya kepentingan bisnis korporasi multinasional agar tetap efisien dalam menjaga kepentingan ekonomi mereka.

Feodalisme yang dikeraskan dalam sistem politik birokrasi itu tak hanya efisien bagi kepentingan kapitalisme global, namun juga punya kepentingan besar agar kita sebagai bangsa tetap dalam posisi yang mudah dikendalikan secara politik dan ekonomi. Struktur feodalisme itu diawetkan agar Indonesia tidak bisa melangkah menjadi negara maju. Tetap menjadi bangsa dan negara yang subordinat bagi kepentingan asing.

Fakta empirisnya dapat kita rasakan hingga hari ini, berpuluh tahun merdeka dan bergonta ganti kepemimpinan nasional namun struktur kesenjangan sosial ekonomi kita tetap saja langgeng. Bahkan semakin parah. Menurut Suissie Credit Institute (2021), 83 persen orang dewasa Indonesia itu kekayaannya di bawah Rp 150 juta. Rata rata dunia 58 persen. Orang dewasa yang memiliki kekayaan di atas RP 1,5 milyar  hanya 1,1 persen. Rata rata dunia 10,6 persen. Angka kesenjangan ekstrim ini dapat dibaca dari laporan Oxfarm (2022) yang menyebut 4 anggota keluarga di Indonesia itu kekayaannya sama dengan 100 juta rakyat Indonesia yang termiskin.

Jadi apapun narasi politik yang sedang digambarkan saat ini, kita sebetulnya belum beranjak dari politik feodalisme tersebut. Lihatlah apa yang terjadi dalam Pencapresan yang terjadi, kandidat kandidat yang diusung partai partai juga tak keluar dari putaran elit pemilik hak istimewa yang sudah given tersebut. Anak anak muda yang penuh dedikasi berjuang untuk keadilan dan kemanusiaan dan mereka itu mungkin keturunan Papua, Ambon, NTT, Sumatra, Kalimantan, Sulawesi, semua terlewatkan.  Mereka sama sekali tidak masuk dalam lintas bursa pencalonan kepemimpinan nasional.

Miris memang, Bung Hatta yang pernah memberikan kritik tajam terhadap demokrasi kita agar tidak terjebak dalam sistem feodalisme cap Ningkrat, Cap Intelek itu hingga saat ini masih tetap kuat bercokol. Demokrasi cap Rakyat terpental jauh di belakang.

Dengan struktur politik feodalistik yang mengeras kuat seperti itu maka, jika ada seorang anak cerdas yang berasal dari kampung Soe, NTT atau anak muda cerdas dari Jagebob, Merauke, Papua sebagai keluarga Katolik tentu ketika ditanya apakah anaknya boleh bercita cita jadi Presiden Indonesia maka jawabanya tegas: Jangan! Sebab kamu nanti hanya akan menemukan kekecewaan. Saran merendahkan mental itu mungkin hanya disuruh menempelah saja dengan elit penguasa Jawa dan Islam agar mendapat jatah sebagai pejabat atau mendapat peluang bisnis. Mimpi anak anak muda itu terhapus sudah !

Ketika saya pergi ke Kalimantan, anak anak Dayak banyak yang begitu cerdas, mereka bahkan punya karya sosial yang luar biasa. Mereka berhasil membangun lembaga sosial ekonomi yang dimiliki lebih dari 1 juta orang dewasa di Kalimantan Barat. Namanya Gerakan Credit Union. Namun ketika saya tanya apakah mereka punya cita cita untuk menjadi Presiden agar dapat kembangkan gerakan sosial ekonomi mereka? Jawabanya hanya ditanggapi dengan senyuman kecut.

Di balik senyuman kecut mereka sebetulnya saya bisa membaca bahwa saya dianggap hanya melucu, membangun pertanyaan yang jawabannya hanya berupa mimpi di siang bolong.

Selama saya bergaul dengan teman teman saya di banyak daerah di seluruh pelosok Indonesia, mimpi mimpi mereka itu seperti terkubur habis. Saya menjadi ketakutan melihat gestur jawaban jawaban pesimis mereka. Apakah masa depan bangsa dan negara ini akan masih tetap utuh jika struktur feodalisme Jawa, Islam itu masih terus diperkuat?

 

Artikel ini ditulis oleh:

Editor: Megel Jekson