Jakarta, Aktual.com- Indonesia Development of Economics and Finance (Indef) mencermati asumsi APBN 2017 mengenai harga minyak dunia tidak lagi relevan dengan kenyataan yang ada. Fakta demikian berpotensi mendapatkan respon negatif dari pelaku usaha.
Seperti diketahui, dalam penyusunan APBN beberapa waktu lalu, pemerintah menetapkan asumsi minyak dunia pada kisaran USD 45 per barel, namun saat ini harga minyak sudah menanjak diatas USD 50 per barel.
Diperkirakan pergerakan harga terus merangkak seiring dengan pembatasan produksi yang dilakukan oleh Opec (Organization of the Petroleum Exporting Countries / Organisasi Negara-negara Pengekspor Minyak Bumi), maupun negara-negara non Opec.
“Eskalasi perubahan minyak dunia diluar perkiraan pemerintah. Ketika APBN tidak relevan, pihak berkepentingan seperti pengusaha, melihat fiskal tidak kredibel. Belum lagi realisasinya meragukan. Jadi itu meunjukan potret fiskal kita,” ujar Peneliti Indef, Abra P.G. Talattov kepada Aktual.com, Senin (19/12).
Adapun pengaruhnya secara langsung melalui kenaikan harga minyak dunia ini yakni akan semakin menekan keuangan negara lantaran untuk menutupi kebutuhan konsumsi nasional yang dilakukan melalui impor.
“Posisi kita net importir, beban untuk impor lebih besar. Maka kenaikan minyak dunia akan menjadi beban bagi negara. Beban industri akan lebih besar, masyarakat juga akan terbeban karena BBM tidak disubsidi oleh pemerintah,” tandasnya.[Dadangsah Dapunta]
Artikel ini ditulis oleh:
Dadangsah Dapunta
Andy Abdul Hamid