Jakarta, Aktual.com – Asosiasi Penambang Nikel Indonesia (APNI) berencana melakukan audiensi kepada Kementerian ESDM untuk mengusulkan adanya harga patokan Nikel (HPN) bagi pertambangan.
Ketua Umum APNI, Lajiman Damanik menuturkan; selama ini transaksi antara penambang dengan pemilik smelter terjadi secara Bisnis to Bisnis (B to B) tanpa ada regulasi dari pemerintah terkait harga. Berbeda dengan harga Batubara yang telah memiliki acuan harga secara nasional.
“B to B terjadi ketimpangan, Smelter maunya harga serendah-rendanya, sementara penambang tentu mau tinggi. Sampai sekarang HPN ini belum ada. Maka kita upayakan ada pertemuan dengan pemerintah untuk membicarakan perhitungan yang sesuai terkait harga patokan mineral,” kata Lajiman di Jakarta, Senin (6/3).
Kemudian yang menambah persoalan bagi penambang yakni pemilik smelter dalam negeri pada umum hanya membeli nikel kadar tinggi. Penambang merasa rugi tidak mampu mengolah nikel kadar rendah, padahal tegas Lajiman, pada skala pasar internasional terdapat banyak permintaan nikel kadar rendah.
Namun dia bersyukur adanya kebijakan relaksasi ekspor dari pemerintah. Kebijakan itu dirasa memberi angin segar bagi penambang untuk mendapat harga yang mengacu pada patokan internasional.
“Tidak ada acuan harga dalam negeri, sedangkan penambang aktivitasnya mulai berkurang dengan harga B to B yang rendah. Dengan momentum relaksasi kemaren, sedikit memberi harapan bagi penambang nikel,” tandasnya.
(Laporan: Dadangsah Dapunta)
Artikel ini ditulis oleh:
Dadangsah Dapunta
Eka