Jakarta, Aktual.com — Ekspor minyak sawit mentah (CPO) dan produk hilir tertahan di sejumlah pelabuhan akibat kebijakan pungutan CPO mulai 16 Juli 2015 belum disosialisasikan kepada instansi pelaksana seperti Bea Cukai, kata Asosiasi Produsen Biofuel Indonesia (Aprobi).
Sekretaris Jenderal Aprobi Togar Sitanggang menjelaskan kebijakan tersebut terburu-buru dan dipaksakan, hal itu terlihat dari ketidaksiapan regulasi teknis yang mendukung program pungutan CPO.
Sebagai contoh, tambahnya, pemerintah menyatakan sudah menerbitkan Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor 128 yang mengatur perubahan tarif bea keluar CPO dan PMK 133 sebagai pengganti PMK 114 mengenai tarif layanan BLU Badan Pengelola Dana Perkebunan Sawit.
“Tapi sampai hari ini, eksportir belum juga mendapatkan salinan aturannya,” kata Togar dalam perbincangan dengan media di Jakarta, ditulis Jumat (24/7).
Bahkan, lanjutnya, aturan tersebut belum tersosialisasikan secara merata di institusi yang terkait kegiatan ekspor seperti Bea Cukai.
Di satu pelabuhan, masih ada aparat Bea Cukai meminta eksportir membayar bea keluar untuk produk hilir CPO, padahal, ujarnya, kebijakan yang berlaku sekarang ini merupakan pungutan CPO.
“Pemerintah menjanjikan ekspor produk sawit tidak kena pungutan berganda. Tapi, ada eksportir yang kena juga. Memang di pelabuhan lain, ada aparat bea cukai yang sudah tahu regulasi terbaru. Namun, situasi ini menunjukkan terjadi ketidakseragaman informasi di antara institusi,” ungkap Togar.
Dia menyayangkan kurang sigapnya Kementerian Keuangan sebagai institusi yang berwenang menerbitkan aturan teknis sekaligus mensosialisasikan kepada institusi dan SDM terkait di lapangan.
Kalaupun alasannya libur panjang semestinya sudah dapat diantisipasi dengan baik, tambahnya, sebab, kegiatan ekspor tidak bisa berhenti dan tetap berjalan selama 24 jam.
Togar menyebutkan pelaku usaha mendukung penuh kebijakan pungutan CPO yang dibuat pemerintah, hal itu terbukti dari jumlah setoran pungutan ekspor yang mencapai Rp50,4 miliar dari 16 sampai 23 Juli 2015.
“Sejauh ini, eksportir patuh untuk melakukan pembayaran. Yang menjadi masalah itu, kurang siapnya Bea Cukai dan Kementerian Keuangan untuk membantu pelaksanaan kebijakan tersebut. Meski demikian, pungutan CPO tetap kami dukung” ujarnya.
Sementara itu Wakil Ketua Dewan Minyak Sawit Indonesia Sahat Sinaga mengatakan, jika pemerintah tidak secepatnya membereskan masalah tersebut maka kalangan pelaku usaha yang paling dirugikan .
Pasalnya, mereka bisa terlambat mengapalkan barang sehingga dibebani biaya tunggu kapal (demurrage cost).
Secara nasional, kata Sahat, ekspor minyak sawit yang ditargetkan 21 juta ton diperkirakan tidak akan tercapai apabila pemerintah tidak segera menuntaskan masalah ini.
Tahun lalu, tambahnya, ekspor CPO dan produk turunannya sebanyak 20,8 juta ton.
“Dampak lainnya ekspor minyak sawit Indonesia tidak akan kompetitif dengan Malaysia. Sampai semester pertama ini, ekspor sawit malaysia terus naik 35 persen,” ujarnya.
Menurut Sahat, ketidaksiapan aturan teknis pungutan ekspor CPO dan produk turunan serta SDM aparat berpotensi menghambat target ekspor sebesar 300 persen dalam lima tahun mendatang.
Artikel ini ditulis oleh: