Kalau saya cermati omongan Maruarar Sirait dan Pak Moeldoko yang tentara khas orde baru. Misal. Jangan adu domba si A dan si B. Kia harus netral antara A dan B yang lagi bersaing. Kalau Moeldoko menggunakan dalih presiden harus netral karena yang bertanding adalah dua kesebelasan dari daerah yang berbeda. Maruarar Sirait menggunakan dalih jangan adu domba Jokowi dan Anies. Kedua pernyataan yang sejatinya senada itu, sungguh menggelisahkan karena mengingatkan kita pada politik jalan tengah ala Orde Baru.
Betapa tidak. Dengan mengatakan jangan adu domba dan harus netral. Pernyataan itu sadar atau tidak, justru mengondisikan benturan antara A dan B.
Sok politik jalan tengah. Tapi pada diri si pengguna frase kata “jangan adu domba” justru sedang mengobarkan perang. Bukannya perdamaian.
Hal ini nampak jelas melalui pernyataan Kepala Staf Kepresidenan Jendral Moeldoko di akun facebook-nya belum lama berselang. Saya kutip: “Melihat insiden kecil dalam Piala Presiden 2018 itu harus memakai pemikiran positif…. Ini dikarenakan sebagai Presiden itu harus netral…. Nanti kalau didampingi salah satu Gubernur bisa dipolitisir lagi…. Yang main kan dua wilayah berbeda?… Lebih baik mencegah kan, daripada sepak bola jadi bahan politisasi…. Berfikir bijak bisa mendinginkan hati kita dan menghindari perpecahan NKRI.”
Selintas memang masuk akal, namun kalau kita cermati lebih dalam, pernyataan tersebut sangat tidak bernalar. Betapa tidak. Moeldoko justru sadar atau tidak telah mencampur-baurkan olahraga dengan politik. Padahjal di ranah olahraga pertandingan sejatinya adalah permainan, bukan benturan antar kelompok. Meskipun dalam pertandingan Piala Presiden 2018 melibatkan dua daerah yang berlaga di final, tidak serta merta pertandingan kedua kesebelasan tersebut dipandang bakal membawa sentiment kedaerahan. Ini pertandingan bisa, tidak akan membawa implikasi politik.
Jadi, untuk apa Presiden Jokowi harus bersikap netral antar kedua kesebelasan yang notabene memang bersal dari dua daerah? Apakah pertandingan antara Persija Jakarta versus Persib Bandung dengan serta merta juga mengarah pada sentiment kedaerahan beraroma SARA? Tentu saja tidak mesikupun tensi kedua kesebelasan jika bertanding pastilah sangat berkobar-kobar dan penuh semangat.
Mengingat supporter kedua kesebelasan dari dulu hingga sekarang tetap saja sangat fanatic mendukung kedua kesebelasan. Begitupun tak ada perlunya seorang presiden kepala negara harus bersikap netral dalam pengertian bahwa ketika Persija Jakarta mengalahkan kesebelasan pesaingnya dari Bali, Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan tidak dipanggil turun ke lapangan dengan dalih untuk menjaga perasaan kesebelasan pesaing Persija yang memang berasal dari daerah lain.
Apalagi pada kenyataannya yang menang adalah Persija Jakarta. Meskipun menurut aturan protokoler sdah jadi tradisi dan ketetapan bahwa presiden dan gubernur ikut turun lapangan mengingat kapasitasnya sebagai tuan rumah. Bahkan seandainya pun pemenangnya bukan Persija. Justru cara pandang Moeldoko seperti inilah yang pada gilirannya akan menggiring olahraga masuk ke ranah politik.Serta memicu sentimen kedaerahan.
Ada segi lain yang juga layak sorot. Yaitu perilaku Maruarar Sirait atau yang kerap disapa Bang Ara. Perilaku Ara kalau mau diringkas dalam hajatan Persija kemarin. Kombinasi antara niat buruk plus miskin penghayatan tradisi nusantara yang amat memuliakan adab dan protokoler.
Mengapa? Sebab seorang presiden atau gubernur menyerahkan piala kepada pemenang. Terlepas yang menang adalah negerinya atau kotanya atau dari negeri atau kota pesaingnya, memang hanya simbolik. Namun hanya simbol, hal itu mencerminkan harkat dan martabat bangsanya. Atau kotanya. Dan suka atau tidak suka. Simbol harkat martabat kota atau negeri adalah kepala daerah dan kepala negara.
Penghayatan terhadap tradisi nusantara dan protokeler inilah yang agaknya tak ada di dalam diri Ara SIrait. Maka ke depan ini merupakan pelajaran maha penting. Betapa Lapisan generasi muda yang miskin penghayatan tradisi nusantara dan protokoler sudah selavaiknya tidak lagi diberi tempat di pentas politik nasional. Apalagi menjadi bagian dari lapisan kepemimpinan nasional ke depan.
Hendrajit, Redaktur Senior.