KH. Muhammad Danial Nafis MA.

Jakata, aktual.com – Hadits kelima dari kitab Arbain Nawawi menjelasakan tentang larangan membuat bid’ah dalam agama, yang bunyi haditsnya sebagai berikut:

عَنْ أُمِّ المُؤمِنِينَ أُمِّ عَبْدِ اللهِ عَائِشَةَ – رَضِيَ اللهُ عَنْهَا – قَالَتْ: قَالَ رَسُوْلُ اللهِ : (مَنْ أَحْدَثَ فِيْ أَمْرِنَا هَذَا مَا لَيْسَ مِنْهُ فَهُوَ رَدٌّ)   رواه البخاري ومسلم، وفي رواية لمسلم (مَنْ عَمِلَ عَمَلاً لَيْسَ عَلَيْهِ أَمْرُنَا فَهُوَ رَدٌّ)

Dari Ummul Mu’minin, Ummu Abdillah, ‘Aisyah radhiallahu ‘anha, dia berkata: “Barangsiapa yang menciptakan hal baru dalam urusan kami ini (yakni Islam), berupa apa-apa yang bukan darinya, maka itu tertolak.”  (HR. Bukhari dan Muslim).

Dan dalam riwayat Muslim: “Barangsiapa yang melakukan perbuatan yang tidak kami kami perintahkan dalam agama kami maka itu tertolak.”

Sekilas tetang Perawi hadits

Hadits diatas diriwayatkan oleh Sayidatuna Aisyah ra, ia selain bergelar Ummul mukminin beliau juga digelari dengan shiddiqah binti shiddiq karena beliau merupakan putri dari shahabat Rasulullah Saw, yang utama yaitu Sayiduna Abu Bakar As-Shiddiq ra, bergelar ummul mukminin seperti tertulis dalam [QS Al Ahzab : 6]

وَأَزْوَاجُهُ أُمَّهَاتُهُمْ

dan isteri-isterinya adalah ibu-ibu bagi mereka

Oleh karena itu, para isteri nabi tidak boleh dinikahi oleh siapa pun setelah wafat  Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, sebab kedudukan mereka dihadapan umat Islam sama seperti kedudukan ibu terhadap anak-anaknya.

Perjumpaan Aisyah ra dengan Rasulullah terjadi pada tahun kesedihan yaitu setelah Sayidatuna Khadijah ra wafat, Allah memberi perintah kepada malaikat Jibril untuk menunjukkan kepada Nabi Muhammad saw “gambar” Aisyah sebgai pengganti dari Sayidah Khadijah, ketika Nabi meminta kedapa Abu bakar untuk menikahi putrinya awalnya Sayiduna Abu Bakar merasa tidak enak karena putrinya masih terlalu belia, Setelah mendengar penjelsan nabi bahwa Allah telah menikahkan Nabi dengan Aisyah dilangit, maka Abu Bakar ra langsung menikahkannya.

kemudian Abu Bakar ra meminta Aisyah ra untuk mengantarkan kurma kepada Rasulullah saw. ketika dirumah rasulullah saw, Aisyah merasa ada perlakuan aheh dari rasul kepdanya, kemudian Aisyah  pulang dan bercerita kepada ayahnya Abu Bakar ra, kemudia Abu Bakar berkata  “engkau telah aku nikahkan dengan Rasulullah saw“. Sejak saat itu, Aisyah berkata “tidak ada yang lebih membahagiakan dalam hidupku melebihi ucapan ayahku [engkau telah aku nikahkan dengan Rasulullah saw]“.

Dalam riwayat Imam Bukhori disebutkan bahwa sayidatuna ‘Aisyah ra di nikahi saat umur 6 tahun , berkumpul [dukhul] bersama Rasulullah Saw saat usia 9 tahun, dan bersama rasul selama 9 tahun, sehingga ketika Rasulullah Saw. wafat, Aisyah ra. berumur 18 Tahun.

Beliau terkenal sangat Zuhud (tidak mengutamakan dunia), bahkan disebutkan bahwa beliau berpuasa sepanjang tahun. Diceritakan seorang sahabat memberikan 180.000 keping dinar kepada sayidatuna Asiyah ra. Lalu sayidatuna Aisyah ra membagikan semua kepingan dinar untuk masyarakat Madinah, bahkan saking zuhudnya beliau sampai lupa tidak menyisakan satu keping pun untuknya berbuka puasa. Subhanallah. Sangat bertolak belakang dengan kita hari ini, yang menyisihkan sebagian besar untuk diri kita, dan memberikan sisanya kepada yang membutuhkan.

Sayidatuna Aisyah ra. oleh Allah tidak dikarunia putra, namun disebut Ummi Abdillah. Hal ini karena kedekatan dan kecintaan yang teramat sangat kepada keponakannya, Abdillah bin Zubair, putra Asma saudarinya. Sayidatuna Aisyah meriwayatkan lebih dari seribu hadits, ada ulama yang menyebutkan 1200-an hadits. Seorang faqih karena merupakan sosok yang paling dekat dengan Rasulullah saw. Rasulullah saw pernah bersabda,

خذوا نصف دينكم عن الحميراء

 “Ambillah setengah agama kalian dari Humaira (‘Aisyah).”

Beliau meninggal pada usia sekitar 66-67 tahun dan dimakamkan di Baqi’. Semoga Allah dan Rasul-Nya mengundang kita untuk berziarah ke maqam para Ummul mukminin dan maqam para sahabatnya.

Penjelasan matan hadits

Hal-hal baru yang dimaksud dalam hadits diatas yakni yang sifatnya ushul / pokok dalam agama, seperti menambah rukun iman, rukun Islam, menambah rakaat sholat fardhu, termasuk misalkan ada yang mengatakan ziarah ke maqam wali tertentu dapat menggantikan amal ibadah haji, ini jelas ngawur dan tertolak. Kita berziarah ke makam auliya’ tapi jangan sampai berlebihan seperti itu.

Penggunaan kata hadza mengisyaratkan agama sebagai sesuatu yang harus dipegang kuat oleh kita. Inti hadits ini adalah segala sesuatu yang tidak bersumber dari Al Qur’an, as Sunnah, para sahabat, tabi’in dan salafunas sholih , maka dia tertolak. Namun jangan memahami bid’ah itu sama dengan ikhtilaf atau perbedaan pendapat para sahabat dan ulama dalam memahami dan mengambil hukum dari suatu dalil. Karena ini sifatnya Furu’ (cabang) dan perbedaan dalam Furu’ itu adalah sebuah keniscayaan dan rahmat yang Allah berikan bagi umat.

Contohnya perbedaan para ulama dalam memahami sabda Rasulullah saw,

صَلُّوْا كَمَا رَأَيْتُمُوْنِيْ أُصَلِّيْ

Artinya: “Shalatlah kalian sebagaimana kalian melihat aku shalat”. (HR. Bukhari)

Jika melihat dari sisi dzohir, imam madzhab yang 4, pun madzhab-madzhab lain banyak berbeda pendapat tentang proses amaliyah fi’liyahnya seperti gerakan dalam sholat dll. Ini masuk dalam furu’iyah (masalah cabang) dan fiqh yang meniscayakan perbedaan kecil namun tetap tidak mengurangi atau menambah ketentuan syariat yang pokok yaitu wajib shalat lima waktu dalam sehari dan sebagainya. namun pada kajian ini kita tidak membahas sisi fiqh secara mendalam.

Setiap perbedaan pendapat para ulama pasti memiliki dasarnya masing-masing. Sehingga yang di bahas pagi ini bukan hanya tentang dzhohir, tetapi juga batin. Banyak dari kita yang melakukan amal (shalat) secara dzohir mungkin persis dengan yang dilakukan oleh Rasulullah, namun masih bisa tertolak. Hal ini karena tanpa disadari, kita menyisipkan niat lain di dalamnya. Riya’ (ingin dilihat), sum’ah (ingin didengar, ingin dipuji) dan maksud-maksud buruk lain yang seolah terbungkus rapi dengan kesholehan. Maka amal tersebut akan tertolak !

Mempelajari teks dan hikmah harus dilakukan beriringan. Jangan sampai kita terlalu fokus dengan teks sampai lupa hikmahnya, pun jangan pula terlalu mengutamakan batin, merasa sudah ahli bathin hakikat hingga tidak perlu melakukan syariat lagi. Saat melakukan amal dhohir dan batin, jangan hanya teks saja, tapi juga konteks baik lahirnya maupun batinnya. pun jangan mengartikan sendiri jika belum diberi kemampuan untuk melakukannya. Bacalah refrensi para ulama syariat dzhohir dan jangan tinggalkan catatan-catatan fiqh ruhani para ulama bathin yakni para Auliyaa’.

Dikisahkan dalam kitab Maqamat al-‘Ulama Bain Yaday al-Khulafa’ wal al-‘Umara’ karya Imam Al Ghozali ra. Suatu ketika Abi Yusuf yang merupakan seorang murid Al-Imam Abu Hanifah ra. diundang makan bersama Khalifah Harun ar-Rasyid. Di tengah jamuan, pelayan lupa menyiapkan sendok, hingga Khalifah memarahinya. Abi Yusuf kemudian berkata, “Wahai pemimpin umat Islam, telah diriwayatkan dari kakekmu, Abu al-Abbas Abdullah bin Abbas, yang menafsirkan surah Al Isra:70;

۞ وَلَقَدْ كَرَّمْنَا بَنِىٓ ءَادَمَ وَحَمَلْنَٰهُمْ فِى ٱلْبَرِّ وَٱلْبَحْرِ وَرَزَقْنَٰهُم مِّنَ ٱلطَّيِّبَٰتِ وَفَضَّلْنَٰهُمْ عَلَىٰ كَثِيرٍ مِّمَّنْ خَلَقْنَا تَفْضِيلًا

Dan sesungguhnya telah Kami muliakan anak-anak Adam, Kami angkut mereka di daratan dan di lautan, Kami beri mereka rezeki dari yang baik-baik dan Kami lebihkan mereka dengan kelebihan yang sempurna atas kebanyakan makhluk yang telah Kami ciptakan.” (QS. Al-Isra 70)

“Menurut kakekmu, diantara bentuk pemuliaan itu adalah bahwa setiap makhluk akan memakan menggunakan mulutnya (binatang) kecuali manusia yang makan memakai tangannya.” Ini isyarat Abi Yusuf bahwa ia tidak ingin makan menggunakan sendok. Hal ini menunjukkan beliau dan para ulama salaf sangat mengikuti dzhohir sunnah nabi sampai hal sedetail dan serinci itu.

Akibat salah dalam memahami konteks bid’ah ini akhirnya banyak saudara kita yang meremehkan bahkan meninggalkan hadits dhaif. Padahal Hadits dhaif berbeda dengan maudu’. Jika dikumpulkan, hadits hadits dhaif tersebut bisa naik tingkatan menjadi hadits Hasan jika banyak riwayat yang menguatkannya.

Tanya jawab dalam kajian

  1. Bagaimana caranya untuk menghilangkan riya?

Riya’ ada didalam qalbu yang tempatnya lebih dalam dari wilayah shodr yang merupakan tempatnya nafsu amarah dan lawammah. Perlu bersyukur jika kita merasa selama ini ibadah kita masih dikelilingi niat-niat lain selain Allah. Itu artinya Allah menunjukan penyakit kita agar diobati. Alhamdulillah Allah masih memberi kita rasa introspeksi diri sehingga kita memiliki kesempatan dan petunjuk untuk menjadikan kita pribadi yang lebih baik lagi. Karena saat kita tau musuh yang kita hadapi, cara melawannya pun akan lebih mudah. begitupun penyakit, bagaimana kita bisa mencegah bahkan mengobati suatu penyakit kalau kita tidak tahu tentang penyakit itu. yang paling bahaya itu kalau kita sampai tidak sadar kalau kita sedang sakit apalagi penyakit-penyakit yang mematikan seperti Covid-19 yang sedang mewabah di negeri kita saat ini.

Menghilangkan riya’ bisa dilakukan dengan tajdidun niat (memperbarui niat setiap saat) setidaknya setiap pagi sebagaimana biasa kita lakukan setiap sebelum memulai kajian Dhuha ini, dan tajdidun iman yang dilakukan dengan cara memperbanyak mengucap kalimah thoyyibah laa ilaaha illa Allah, pun menyadari sebenarnya apa apa yang kita miliki dan lakukan selama ini hakikatnya bukan dari kita untuk orang lain, namun hanya dari dan untuk Allah semata.

Tajdidun Niat wa tajdidul Iman juga dapat mengantarkan kita Husnul khatimah. Namun perlu digaris bawahi, husnul khatimah yang dimaksud bukan sekedar mampu mengucap kalimat laa ilaaha illa Allah atau Allah disaat ajal menjemput, namun Husnul khatimah yang paling agung adalah ma’rifah qoblal maut, yaitu kita mengenal Allah swt. Allah memperkenalkan hakikat-Nya kepada kita sebelum ajal menjemput kita sehingga kita mampu merasakan ikhlas yang sebenarnya.

Riya’ dalam berlomba-lomba dalam kebaikan misalnya dalam proses belajar atau dikelas untuk para santri masih diperbolehkan menurut beberapa pandangan ulama. Namun keikhlasan  perlu dilatih sejak dini dan awal agar seseorang itu hanya berniat mendapatkan kebaikan dari Allah saja. Karena mata air keteladanan berasal dari niat yang bersih, amal yang bersih dan sanad yang bersih pula. Sejak awal pun harus sadar bahwa setiap apapun, kita digerakkan oleh Allah SWT.

Dengan melanggengkan dzikir secara bertahap, pertama sadar akan dzikir yang dilakukan (masih ada aku dan dzikir), kedua melebur dalam dzikir dan yang terakhir lupa akan dzikir dan dirinya, sehingga yang ada hanya Allah.

  1. Kenapa sebagian ilmu ada yang tidak boleh disebarkan secara umum, bukankah islam itu rahmatan lil alamin ?

Memang benar Islam adalah rahmatan lil alamin, namun setiap orang memiliki kapasitas masing-masing. Jika engkau Istiqomah dalam tarekat, engkau akan menerima kucuran rahmat Allah seperti melimpahnya air hujan. Jika wadah kita seperti baskom, kita hanya bisa menampung sebanyak itu. Namun jika wadah kita seperti kolam atau sumur, kita juga akan menampung sebanyak itu pula. Pun ada yang seperti selang, mengalirkan sedikit namun tetap tersambung. Semua itu rahasia Allah.

Contohnya bisa kita lihat orang-orang pilihan Allah dari kalangan sahabat. kenapa Rasulullah mentalqin sayyidina Ali ra sebanyak 40x dan kenapa hanya beliau yang ditalqin sebanyak itu?. dan kenapa Hanya Umar bin Khattab ra yang dijuluki Abul Hafsh dan Al-Faruq?. Kenapa tidak semua orang? Bukankah Islam rahmatan lil alamin? Justru kita harus memahami begitu agung dan luasnya Rahmat Allah itu sehingga masing-masing sahabat memiliki bermacam-macam keutamaan dan kebaikan yang menonjol dari pribadi mereka.

  1. Apa arti perbedaan I’rab Rofa dan jer dalam hadits armina dan amruna ?

Menenai perbedaan antara lafadz أمرنا amrina dalam hadits riwayat imam Bukhari dan lafadz amruna dalam hadits riwayat imam Muslim.

Itu tidak hanya dalam dalam Konteks I’rab saja namun tetap ada hikmah didalamnya. I’rab itu artinya Perubahan yang menunjukan suatu Amal perbuatan atau gerak yang akan melahirkan suatu Haal (keadaan/kondisi Ruhani).

Dalam dua riwayat hadits tersebut lafadz Amruna yang satu beri’rab Rafa’ sedangkan lafadz Amrina dalam riwayat lain beri’ab Khofadz atau Jar bi harfi Jar (jar sebab huruf jar).

Rafa’ artinya Terangkat yang menunjukan suatu Amal atau ilmu yang dzahir. Khofadz  artinya merendahkan Diri . Khofad atau Jar menunjukan Amal atau Ilmu Bathin dengan tandanya Kasrah yang berarti pecah atau Memecahkan diri. maksudnya lebur / Fana’ ilaa Allah Taala. Ini merupakan penjelasan i’rab / nahwu dari sisi isyari / tasawuf. Perbedaan lafadz Amruna dan Amrina dalam dua riwayat hadits ini menunjukan bahwa dalam memaknai bid’ah kita harus melihat dalam konteks ilmu lahir dan ilmu bathin. Karena seburuk-buruknya bid’ah adalah bid’ah fil i’tiqad wal ‘ubudiyah yakni mensekutukan Allah dan menuhankan selainnya. Na’udzubillaahi min dzaalik.

  1. Minta Ijazah Hizib Nawawi

Kemudian di akhir kajian, KH Muhammad Danial Nafis memberikan Ijazah Hizb Nawawi yang biasa dibaca sebelum memulai kajian kepada para participants dengan ijazah aammah (umum). Dengan menjelaskan diantara Adabnya sebelum membaca Hizb ini jangan lupa mendoakan beliau beserta keluarga dan guru-guru lainnya. Hizb-hizb yang dibaca di Zawiyah Ar Raudhah alhamdulilah tersambung sanadnya hingga para penyusunnya. Hizib Nawawi dibaca setiap pagi (selesai sholat subuh hingga waktu dhuha) dan atau saat petang  (waktu antara maghrib dan isya) atau jika kita memiliki hajat, bisa dibaca setiap selesai sholat fardhu.

Diantara keutamaan hizib ini yaitu untuk ‘menjaga dari sihir, tipuan mata (bagian dari sihir), dan keburukan setan dan jin; menghilangkan kesusahan; menolak tipu daya orang-orang yang zalim; menolak aniaya para penganiaya dan kedengkian para pendengki serta agar ternaungi dalam naungan dan perlindungan Allah. Sebagian fadhilah yang lain, hizib ini akan menghiasi pembacanya dengan kemuliaan, cahaya, keagungan, dan keindahan sebagaimana telah Allah karuniakan kepada penyusunnya Radhiyallahu Anhu wa nafa’anaa bihi wa bi ulumihi wa bi asroorihi fid daaroin aamiin.

Wallahu A’lam

RESUME KAJIAN DHUHA KITAB ARBAIN NAWAWI BERSAMA KH. MUHAMMAD DANIAL NAFIS Hafizhahullah, Via Zoom Cloud Meeting 06.35 – 08.30 Kamis April 2020 / 8 Sya’ban 1441

Artikel ini ditulis oleh:

Eko Priyanto