Foto: KH. Danial Nafis MA [kanan], Prof. Dr. Fadhil al-Jaelani [tengah]
Foto: KH. Danial Nafis MA [kanan] bersama Sayaikh Prof. Dr. Fadhil al-Jilani [tengah].

Jakarta, aktual.com – Hadits ke enam dalam kitab Arbain Nawawi berbunyi:

عَنْ أَبِيْ عَبْدِ اللهِ النُّعْمَانِ بْنِ بِشِيْر رضي الله عنهما قَالَ: سَمِعْتُ رَسُوْلَ اللهِ صلى الله عليه وسلم يَقُوْلُ: (إِنَّ الحَلالَ بَيِّنٌ وَإِنَّ الحَرَامَ بَيِّنٌ وَبَيْنَهُمَا أُمُوْرٌ مُشْتَبِهَات لاَ يَعْلَمُهُنَّ كَثِيْرٌ مِنَ النَّاس،ِ فَمَنِ اتَّقَى الشُّبُهَاتِ فَقَدِ اسْتَبْرأَ لِدِيْنِهِ وعِرْضِه، وَمَنْ وَقَعَ فِي الشُّبُهَاتِ وَقَعَ فِي الحَرَامِ كَالرَّاعِي يَرْعَى حَوْلَ الحِمَى يُوشِكُ أَنْ يَقَعَ فِيْهِ. أَلا وَإِنَّ لِكُلِّ مَلِكٍ حِمَىً . أَلا وَإِنَّ حِمَى اللهِ مَحَارِمُهُ، أَلا وإِنَّ فِي الجَسَدِ مُضْغَةً إِذَا صَلَحَتْ صَلَحَ الجَسَدُ كُلُّهُ وإذَا فَسَدَت فَسَدَ الجَسَدُ كُلُّهُ أَلا وَهيَ القَلْبُ)  رواه البخاري ومسلم .

Dari Abu Abdullah An Nu’man bin Basyir radhiallahu ‘anhuma, dia berkata: Aku mendengar Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa aalihi wa sallam bersabda:

“Sesungguhnya yang halal adalah jelas dan yang haram juga jelas dan di antara keduanya terdapat perkara yang samar, kebanyakan manusia tidak mengetahuinya. Barangsiapa yang menghindar dari yang samar maka dia telah menjaga agama dan kehormatannya. Dan barangsiapa yang terjatuh dalam perkara yang samar maka dia telah terjatuh dalam perkara yang haram, seperti penggembala yang berada dekat di pagar milik orang lain dikhawatiri dia masuk ke dalamnya. Ketahuilah setiap raja memiliki pagar (aturan), aturan Allah adalah larangan-laranganNya. Sesungguhnya di  dalam tubuh terdapat segumpal daging jika dia baik maka baiklah seluruh jasad itu, jika dia rusak maka rusak pula seluruh jasad. Ketahuilah itu adalah hati.” (HR. Bukhari dan Muslim)

Sekilas tentang Perawi hadits

Hadits ini diriwayatkan oleh Nu’man bin Basyir, ia termasuk shigorus shahabah (sahabat nabi yang junior) dari kalangan Anshor yang lahir sekitar 13-14 bulan setelah kedatangan Rasulullah saw ke Madinah, saat masih bayi, ia di tahnik (diberi kurna yang telah dikunyah pada bibirnya) oleh Rasulullah saw,  lalu Rasulullah saw bersabda “anak ini akan mendapat kehidupan mulia, derajat yang bagus dan meninggal dalam keadaan syahid“,  Saat Rasulullah saw wafat, Nu’man yang masih berusia 7-8 tahun telah memliki kecerdasan diatas rata-rata, beliau meruterkenal dengan kezuhudan, meriwayatkan kurang lebih 114 hadits dan syahid terbunuh di usia 64 tahun.

Penjelasan matan hadits

Dalam hadits ini menyebutkan tiga macam hukum:

  1. Yang jelas halal, seperti minum air putih, makan buah-buahan, memakai pakaian yang pantas dan menutup aurat, berbuat baik, berkata yang baik, dan lainnya.
  2. Yang jelas haram, seperti zina, judi, mencuri, makan riba, babi, minum khamr, membunuh jiwa tanpa hak, durhaka kepada orang tua, sumpah palsu, dan lainnya.
  3. Yang masih samar (syubhat) statusnya, yang terjadi karena dalilnya ada tapi multi tafsir, atau jelas maknanya namun lemah riwayatnya, atau kuat riwayatnya tapi tidak jelas dan tegas maksudnya.

Seseorang yang telah bersyahadat kepada Allah sebenarnya secara otomatis telah di instal energi oleh Allah di dalam hatinya untuk merasakan dan mengetahui secara umum mana yang halal dan haram. Kemampuan ini akan semakin nampak dan kuat jika kita terus melakukan tajdidul iman (pembaharuan iman) dengan banyak berdzikir laa ilaaha illaa Allah. Tajdidul iman dengan senantiasa berdzikir akan membuat jiwa kita dipenuhi cahaya ketuhanan dan membuat bashiroh atau mata batin kita semakin tajam, sehingga halal dan haram akan nampak semakin jelas.

Contohnya, saat kita makan di restoran, namun hati kita merasa gelisah, bisa jadi dalam proses pembuatan makanan tersebut ada sesuatu yang diharamkan, mungkin terkena najis atau mengandung khamr dan sebagainya.

Salah satu karomah Sidy Syaikh Abul Abbas Al Mursyi ra.  murid dari Al-Imam Abul Hasan Aly As-Syadzili ra. yakni beliau ketika akan makan,  urat tangan beliau akan bergerak-gerak jika di dalam makanan itu terdapat suatu keharaman, beliau di karuniakan oleh Allah ketajaman dalam membedakan sesuatu itu halal atau haram baik secara jenis maupun dalam proses dan asalnya sampai tujuh martabat.

Perlu di catat, bahwa Halal itu terbagi menjadi tiga:

  1. Halal dalam konteks fiqh yang bisa dilihat secara dzahir dan jelas, yaitu dari jenis barangnya. Sebagaimana dijelaskan dalam syariat bahwa di dalam kehalalan dari sisi jenisnya ini didalamnya ada ke-thoyyib-an (kebaikan & kemanfaatan) seperti minum air putih, makan buah-buahan, memakai pakaian yang pantas dan menutup aurat. Sebaliknya, di dalam keharaman pasti ada ke-mafsadan (keburukan/menimbulkan kerusakan). seperti minum khamr, makan babi, mencuri, zina dan sebagainya.
  2. Halal dalam thoriqoh, yaitu dalam prosesnya. Baik dari proses mendapatkan rizki, proses pengolahan, distribusi, dan sebagainya. Semisal tukang ojek online mendapat penumpang yang jelas-jelas pekerjaannya haram, uang yang didapat ini dihukumi syubhat (ada ulama yang mengharamkan dan menghalalkan).
  3. Halal dalam maqam ma’rifat, yakni secara batin/nurani. Melihat ada atau tidaknya keberkahan dalam suatu hal. Yang halal sudah pasti baik, namun belum tentu memberi keberkahan. disinilah seseorang akan lebih memilih sikap wara’ yakni menjauhi syubhat, meninggalkan yang mubah dan membatasi yang halal.

Dalam Hadits ini juga terdapat anjuran untuk menghindari syubhat, sebab sangat mungkin  akan jatuh ke yang haram, demi menjaga kehormatan agamanya (hak Allah Ta’ala) dan kehormatan dirinya (terkait dengan hak dirinya sendiri di hadapan manusia). Ketahuilah bahwa seringnya kita bersentuhan dengan yang syubhat akan menjadikan kegelapan hati. gelapnya hati sering disebabkan karena rezeki dan makanan yang kita peroleh. Energi dari makanan yang haram akan membawa tabiat buruk dalam hati seseorang.

Rasulullah saw. bersabda,

دَعْ مَا يَرِيْبُكَ إِلَى مَا لاَ يَرِيْبُكَ.

“Tinggalkanlah yang meragukanmu lalu ambillah yang tidak meragukanmu”. (HR. Tirmidzi)

Diantara Bentuk wara’ adalah meninggalkan sesuatu yang ragu-ragu lalu mengambil yang tidak meragukan. Sehingga penting bagi kita untuk memiliki sifat wara,  karena saat mengambil sesuatu yang syubhat, maka kita telah menyentuh keharaman walaupun hanya sedikit dan yang halal jika tercampur dengan yang haram, meskipun hanya sedikit, dihukumi haram. Seperti susu sebaskom yang kejatuhan tahi ayam, sesuatu yang haram akan menyulut laksana api, dia akan membakar agama, tubuh, hati, pikiran, dirinya, keluarga dan banyak hal lain.

Dalam tasawuf, haram tidak hanya karena jenisnya, tetapi juga masuk kategori haram adalah segala apa yang tidak diridhoi Allah Taala, ini lebih kepada sesuatu itu pantas atau tidak pantas secara adab, baik kepada Allah, Rasul-Nya, para kekasih-Nya dan seluruh makhluk-Nya. Itu mengapa Adab lebih didahulukan daripada ilmu.

Lalu apa tandanya kalau Allah ridho pada kita? tandanya adalah saat hati kita merasa tenang dalam melakukan suatu perkara. Syubhat bisa nampak saat sesuatu perkara terasa tidak nyaman dalam hati, sehingga menunjukkan tidak adanya keberkahan didalamnya. Set alert dalam masing-masing diri, bertanya pada diri apakah Allah sudah ridho dengan apa yang kita lakukan?

Diriwayatkan dari Aisyah ra, ia melihat Rasulullah saw, begitu cemas hingga berkeringat. Beliau berkata “saya tadi menemukan satu buah kurma di jalan dan memakannya. Saya khawatir jika itu adalah bagian dari zakat seseorang”. Lihatlah bagaimana Rasulullah saw, begitu cemas hanya karena satu buah kurma yang beliau temukan di jalan.

Syubhat dan haram bukan hanya tentang makanan dan rezeki, tetapi juga waktu dan fasilitas. Seperti halnya ghosob (kita tahu barang tersebut milik orang lain, tapi meremehkan dengan menganggap orang lain ridho jika barangnya kita pinjam tanpa izin) yang banyak terjadi di pesantren. Perlu hati-hati karena ini menyebabkan ilmu seorang santri akan kurang berkah. termasuk ghosob waktu dan izin, misal ada santri izin pergi ke tempat A, namun kenyataannya ke tempat ABC, ini pun termasuk ghosob. Begitupun dalam dunia pekerjaan dan profesional. banyak orang yang mencuri waktu saat jam kerjanya untuk menguntungkan diri sendiri atau bersantai-santai. Itu juga ghosob.

Tanya jawab

Bagaimana jika kita kerja di tempat syubhat?, misal bank. Kalau merasa belum cukup, jika meninggalkan pekerjaan tersebut khawatir keluarganya akan kekurangan, tidak apa karena dihukumi darurah. Namun jika memilih untuk keluar karena mengharapkan yang lebih baik dari Allah, ini jauh lebih baik.

Bagaimana kita Menyikapi pemberian makanan dari non muslim? Kita dianjurkan untuk menerima makanan untuk menghargai kebaikannya. namun tidak perlu dikonsumsi untuk menjaga diri kita dari syubhat.

Ada orang saat sekolah mencontek, lulus, mendapatkan ijasah untuk melamar kerja, apakah uang yang didapat dari pekerjaan itu halal? Uang nya Halal secara fiqhiyah, namun ada kesalahan dalam konteks akhlak , maka perbanyak istighfar dan harus taubatan nasuha.

Wallahu a’lam

RESUME KAJIAN DHUHA KITAB ARBAIN NAWAWI BERSAMA KH. MUHAMMAD DANIAL NAFIS Hafizhahullah ,Via zoom Cloud Meeting 06.45 – 08.45 WIB Jumat 9 Sya’ban 1441 / 3 April 2020

Artikel ini ditulis oleh:

Eko Priyanto