Jakarta, Aktual.com -Jokowi akhirnya mau mengakui bahwa kondisi perekonomian Indonesia saat ini memang memprihatinkan dan sedang dalam keadaan lemah.
Dihadapan para kepala daerah di Istana Bogor dua hari lalu (26/7), Mantan Walikota Solo ini mengatakan bahwa terdapat masalah dalam fundamental ekonomi Indonesia.
Masalah itu adalah defisit transaksi berjalan dan defisit perdagangan, yang menyebabkan Indonesia rentan terpengaruh gejolak ekonomi dunia.
Padahal sebelumnya Tim Ekonomi pemerintah, yang disuarakan terutama oleh Menteri Keuangan Sri Mulyani masih terus menyatakan ekonomi kita kuat, kondisi fiskal prudent, dll.
Bahkan, beberapa hari yang lalu, Sri Mulyani masih berani katakan, APBN untung dengan adanya kondisi pelemahan kurs Rupiah.
Minggu lalu juga Menko Perekonomian Darmin Nasution masih menyatakan bahwa pelemahan kurs Rupiah merupakan hal biasa.
Sebaliknya, ekonom senior Rizal Ramli (RR) sejak akhir tahun lalu, diulang di berbagai kesempatan, terus mengingatkan pemerintah tentang kondisi lampu kuning (setengah merah) perekonomian Indonesia.
Lemahnya kondisi ini disebabkan oleh berbagai defisit seperti dalam neraca perdagangan dan transaksi berjalan. RR memberi analogi yang sangat sederhana untuk mengibaratkan perekonomian dan kondisi eksternal.
Bila badan kita sedang lemah, virus-virus akan mudah menyerang sehingga menyebabkan kita sakit. Namun bila badan kita kuat, virus apapun tidak akan mampu menyakiti.
Tapi peringatan RR ini malah terus dibantah oleh para buzzer pemerintah termasuk juga oleh juru bicara Sri mulyani di Kemenkeu dan oleh Deputi Darmin di Kemenko Perekonomian.
Sampai kemudian dua hari lalu, Jokowi seakan mengakui dan menerima peringatan RR tentang buruknya fundamental ekonomi kita.
Tim Ekonomi pemerintah yang sebelumnya menolak peringatan RR, akhirnya ramai-ramai mengakui bahayanya pelemahan nilai tukar dan tergopoh-gopoh mencari solusi untuk memperbaiki defisit transaksi berjalan dan defisit neraca perdagangan.
Barulah kemarin lusa juga (26/7), malamnya setelah acara bersama para Kepala Daerah, Jokowi mengumpulkan 40 taipan terkaya di Indonesia dan meminta para eksportir kelas kakap ini untuk membawa kembali seluruh devisa hasil ekspor mereka.
Pada hari yang sama juga Sri Mulyani menyatakan akan menghentikan impor yang berkaitan dengan pembangunan infrastruktur.
Setelah itu kemarin (27/7) juga terjadi rapat mendadak di Istana, Jokowi meminta para menteri terkait untuk membahas pencabutan harga khusus batubara yang selama ini dinikmati pengusaha wajib pasok DMO (Domestic Market Obligation)..
Lalu apakah artinya ini? Ekonom-ekonom pemerintah telah gagal mengendalikan situasi. Tim ekonomi pemerintah telah gagal memperkirakan atau gagal melakukan forecasting situasi ekonomi nasional- yang seharusnya menjadi kompetensi utama mereka.
Dulu menjanjikan pertumbuhan ekonomi 7%, nyatanya Cuma dapat 5%. Kini bilang ekonomi kita akan baik-baik saja, ternyata toh ada masalah yang cukup fundamental seperti duo defisit yang disampaikan Presiden Jokowi dua hari yang lalu.
Sementara, manipulasi garis kemiskinan sudah semakin terang benderang, angka kemiskinan BPS terlalu rendah. Rp 11 ribu yang dijadikan acuan garis kemiskinan tidak relevan lagi.
Terlebih setelah seorang wartawan dari Vice melakukan riset lapangan untuk hidup di Jakarta bermodal Rp 20 ribu sehari, ternyata tidak cukup! Bubble pencitraan pun pecah.
Namun, bila pun memandang penurunan kemiskinan versi BPS berbagai zaman kepresiden, dari selama apa menjabat dan seberapa persen penurunan kemiskinan, bukan terjadi pada masa Jokowi.
Data menyebutkan setelah Reformasi, laju penurunan kemiskinan era Habibie adalah 1,1% /tahun. Gus Dur adalah 5,01% dalam 2 tahun, atau lajunya 2,5%/tahun.
SBY periode pertama 2,5% dalam 5 tahun, atau lajunya 0,5%/tahun. SBY periode kedua 3,46% selama 5 tahun, atau lajunya 0,69%. Sedangkan Jokowi adalah 1,1% dalam 4 tahun, atau lajunya 0,28%/tahun.
Jelas, angka laju penurunan kemiskinan era Jokowi adalah yang terkecil dan Gus Dur (tim ekonomi adalah RR dan Kwik Kian Gie) memiliki angka laju penurunan kemiskinan yang tertinggi versi BPS.
Oleh: Gede Sandra (peneliti Lingkar Studi Perjuangan)
Artikel ini ditulis oleh:
Dadangsah Dapunta