Pengamat hukum Ari Yusuf Amir mengapresiasi hasil penyelidikan Komnas HAM terkait peristiwa terbunuhnya 6 orang laskar FPI yang mengawal Habib Rizieq Shihab (HRS).

Menurut Ari dari hasil temuan Komnas HAM yang diumumkan ke publik terungkap, Komnas HAM menemukan fakta bahwa dari 6 orang laskar FPI yang tewas, terdapat 4 orang korban yang diduga tewas akibat kekerasan dan penembakan dengan sengaja oleh polisi di luar mekanisme penegakan hukum yang seharusnya ( unlawful killing ).

“Komnas HAM menemukan ada tanda-tanda fisik yang menunjukkan keempat korban telah terlebih dahulu mengalami penyiksaan atau torture sebelum tewas terbunuh,” ujar Ari.

Dalam bahasa Komnas HAM, kata Ari, keempat orang laskar FPI ini masih hidup ketika dalam penguasaan resmi petugas negara. Namun kemudian tewas di tangan petugas tanpa ada upaya lain untuk mencegahnya.

“Oleh karena itulah Komnas HAM menilai tindakan petugas yang menyiksa dan mengakibatkan kematian anggota FPI tersebut merupakan bentuk pelanggaran HAM atau serious violation of human rights ,” ujar Ari

Masih menurut versi Komnas HAM, Ari melanjutkan dua orang laskar FPI yang tewas lainnya merupakan akibat penghadangan terhadap petugas negara. Terjadi kontak senjata ketika itu, dan dua anggota FPI itu kemudian gugur. Kesan yang ingin dibangun dari konstruksi cerita ini, bahwa dua orang yang tewas berkategori ‘ lawfull killing ‘ karena petugas negara sedang menegakkan hukum.

Hanya saja aktivitas penegakan hukum yang sedang dilakukan polisi pada saat itu adalah menguntit HRS sebagai terduga pelaku pembuat kerumunan di masa pandemi Covid 19.

“Cara dan prosedur penegakan hukum yang berbuntut pada kekerasan fisik secara berlebihan ini kemudian mengundang kontroversi, karena tidak sebanding dengan dugaan kesalahan para korban,” ujar Ari.

Menurut Ari, apabila terbukti terdapat pelanggaran HAM oleh kepolisian terkait dengan tewasnya 4 orang laskar FPI itu, kasus ini harus segera ditindaklanjuti melalui proses pemidanaan terhadap pelaku penembakan dan penyuruh atau pemberi perintah penembakan.

“Tentu saja penegakan hukum yang ‘ fairness ‘ hanya bisa dilakukan jika laporan Komnas HAM ini ditindaklanjuti oleh Presiden Jokowi,” ucapnya.

Dalam pandangan Ari, bagaimanapun Komnas HAM adalah ‘ government body ‘ yang memberikan rekomendasi hasil kerjanya hanya kepada Presiden sebagaimana amanat UU Nomor 26 tahun 2000 tentang HAM. Sebagai kepala negara tentu saja presiden sejatinya menindaklanjuti rekomendasi pemidanaan tersebut.

“Tentu tidak sepatutnya bagi presiden memberikan imunitas (melindungi orang agar terbebas dari hukuman) apabila proses pemeriksaan nantinya menemukan pihak yang menjadi aktor pemberi perintah terjadinya pelanggaran HAM ini,” terangnya.

Jika Presiden tidak sigap, tanggap dan cepat dalam merespon dan menindaklanjuti laporan Komnas HAM ini, Ari memperkirakan bukan tidak mungkin kasus ini akan di-peties-kan atau dibekukan. “ Alhasil tidak akan ada bedanya dengan kasus penyiraman air keras terhadap penyidik senior KPK, Novel Baswedan. Kasus ini bisa serupa dimana aktor yang diusut hanyalah pelaku dan bukan penyuruh atau dader,” katanya .

Apabila proses penegakan hukum terhadap kasus ini lamban karena faktor terhentinya proses tindaklanjut di meja Presiden, wacana untuk menyeret kasus ini ke peradilan pidana internasional ( International Criminal Court /ICC) akan memanas. “Dan tentu saja hal ini akan menurunkan reputasi negeri ini di mata dunia,” Ari menambahkan.

Jika mau jujur, kata Ari maka pelaku atau eksekutor penembak bersama dengan penyuruh atau pemberi perintah membunuh, atau orang yang mendesain terjadinya peristiwa ini, untuk segera ditangkap dan ditahan polisi. “Merekalah yang harus dikriminalisasi melalui proses pemidanaan yang fair-play untuk mempertanggungjawabkan pelanggaran HAM yang dilakukannya,” ujarnya.

Untuk memulai proses pemidanaan terkait dengan tindaklanjut laporan Komnas HAM, Ari mengusulkan institusi kepolisian harus fokus pada upaya menyelamatkan citra dan kepercayaan masyarakat. “Caranya, konsentrasi saja pada pengungkapan oknum-oknum pemberi perintah dan pelaku pelanggar HAM ini,” katanya.

Ari berharap, siapa pun pihak-pihak terduga pelaku dan penyuruhnya, sebaiknya segera dinonaktifkan dari kedudukan strukturalnya. Para individu ini harus diproses secara objektif dan bebas dari anasir tekanan dan intervensi pihak mana pun. Tidak boleh diberikan kesempatan adanya oknum pemberi perintah yang merekayasa kasus ini dengan membangun alibi bahwa petugas di lapangan membela diri sehingga sah membunuh. “Padahal itu dilakukannya untuk menutupi rencana pembunuhan terhadap korban atas nama penegakan hokum,” kata Ari.
Menurut Ari, pemberi perintah dan pelaksana perintah adalah oknum Polri yang harus dimintakan pertanggungjawaban hukumnya secara individual. Dengan cara tersebut maka citra institusi Polri dapat terselamatkan dari krisis kepercayaan. “Dan secara kelembagaan tetap berwibawa dalam mengemban tugas penegakan hukum,” ujarnya.

Kasus ini, kata Ari merupakan tantangan untuk Kapolri Baru. “Kita tentu saja menaruh harapan besar kepada figur Kapolri mendatang untuk memiliki komitmen tinggi dan kesungguhan pada usaha penegakan hukum atas kasus pelanggaran HAM oleh jajaran kepolisian ini,” ujarnya.

Penyidikan yang dilakukan menyusul rekomendasi Komnas HAM kepada presiden tersebut, kata Ari hendaknya mendapatkan proteksi dari Kapolri yang baru agar bisa memastikan tidak adanya intervensi dari unsur pimpinan Polri lainnya yang dapat merusak objektifitas temuannya. Kapolri yang baru hendaknya menunjukkan kepada publik bahwa siapa pun individu dalam tubuh Polri yang salah dalam penerapan hukum, prinsip, prosedur, tata cara, serta melanggar kaidah penegakan hukum yang mengakibatkan kematian warga negara harus dimintakan pertanggungjawaban pidananya.

Institusi Polri, pinta Ari tidak melindungi oknum anggota Polri yang salah secara hukum dan tidak akan membebaskannya dari sanksi hukum. Sehingga tidaklah benar anggapan di masyarakat selama ini bahwa Polri akan melindungi anggotanya yang terlibat dalam pelanggaran HAM terhadap 6 orang Laskar FPI. “Kalau pun di proses maka hanya akan memproses pelaku dilapangan saja tanpa membongkar siapa figur pemberi perintahnya,” kata Ari.

Artikel ini ditulis oleh:

Ridwansyah Rakhman