Senada dengan itu, Kepala Balar Denpasar, I Gusti Ngurah Suarbhawa, mengatakan dari hasil pendataan dan penelitian timnya, masyarakat setempat dapat belajar dari fakta strategi adaptasi manusia terhadap lingkungan setempat melalui tinggalan arkeologinya.
“Seperti alasan-alasan penempatan tinggalan arkelogi ditinjau dari letak kelerengannya, permukiman, ritual-ritual dan sumber daya air yang tersedia,” katanya.
Menurut Suarbhawa, alasan-alasan itu dapat dipakai model masyarakat dalam mencermati kearifan leluhur, sehingga eksploitasi alam dapat dilakukan dengan berpatokan dari temuan arkeologi yang ada.
“Kalau ditinjau dari geologisnya, Tejakula dan Kubutambahan memiliki karakter yang sama. Salah satunya ketersediaan sumber mata air yang jauh di bawah tanah, itu kenapa bisa terjadi, karena Bali Utara dulu sempat tertutup oleh material leturan Gunung Batur purba, yang menutupi sebagaian wilayah Buleleng,” katanya.
Dari hasil penelitian itu, kata Suarbhawa, Balai Arkeologi Denpasar akan melakukan penelitian lanjutan untuk memperdalam dan memperluas sasaran aspek lainnya.
“Dari evaluasi kami, potensi sangat besar lanskap arkeologi ruang, yang akan sangat membantu desa dan masyarakat memahami hal sekelilingnya. Potensi Bali Utara sangat menjanjikan,” katanya.
Artikel ini ditulis oleh:
Andy Abdul Hamid