Presiden Brasil, Luiz Inácio Lula da Silva, menyampaikan penghargaan dan kekagumannya kepada Indonesia dalam pernyataan pers bersama Presiden Republik Indonesia, Prabowo Subianto pada Rabu, 9 Juli 2025. Aktual/BPMI-SETNEG

Jakarta, aktual.com — Konferensi Perubahan Iklim Perserikatan Bangsa-Bangsa (COP30) resmi dibuka di Kota Belém, Brasil, dengan nada tegas dari para pemimpin dunia: laju aksi global menahan krisis iklim masih terlalu lambat. Dalam dua pekan ke depan, hampir 200 negara akan duduk di meja perundingan untuk membahas detail strategi pengurangan emisi, transisi energi bersih, hingga skema pendanaan bagi negara miskin yang terus dihantam dampak cuaca ekstrem.

Melansir Bloomberg, Senin (10/11/2025), konferensi kali ini berpotensi menjadi ajang tarik-menarik kepentingan antara negara maju dan negara berkembang — dari urusan pendanaan hingga arah kebijakan energi fosil. “COP kali ini akan sangat berbeda. Topik ini menyentuh begitu banyak sektor ekonomi, dan tak ada satu pun negara yang benar-benar siap untuk transisi energi,” ujar Presiden COP30 André Corrêa do Lago pekan lalu.

Perebutan Agenda: Dana Iklim Jadi Medan Tarung Utama

Seperti tradisi lama, pertempuran politik di forum COP dimulai sejak hari pertama. Tahun ini, kelompok Like Minded Developing Countries (LMDC) yang terdiri dari negara-negara berkembang seperti Arab Saudi dan India menekan negara maju agar memperjelas komitmen pendanaan iklim bagi negara miskin.

Mereka juga menuntut agar forum membahas kebijakan perdagangan sepihak, merujuk pada langkah Uni Eropa yang akan memberlakukan pungutan karbon terhadap impor beremisi tinggi mulai tahun depan. Di sisi lain, Aliansi Negara-Negara Kepulauan Kecil (AOSIS) menuntut tindakan nyata atas laporan PBB yang memperingatkan dunia kian jauh dari target pemanasan global di bawah 1,5°C.

Namun, upaya itu berpotensi tersandera kepentingan negara kaya minyak seperti Arab Saudi, yang menolak bahasa tambahan terkait peningkatan ambisi iklim. Brasil sebagai tuan rumah mencoba meredam ketegangan dengan menggabungkan berbagai isu dalam satu jalur negosiasi bersama topik pendanaan. Pertemuan informal antar kepala delegasi bahkan digelar Minggu sore waktu setempat demi mencegah kebuntuan sejak dini.

Peta Jalan Energi Fosil: Antara Ambisi dan Realitas

Setahun setelah kesepakatan pendanaan iklim US$1,3 triliun di COP29, negara-negara maju kini ingin mengembalikan fokus pada mitigasi emisi. Presiden Brasil Luiz Inácio Lula da Silva dalam pidato pembukaannya menyerukan peta jalan global untuk mengakhiri ketergantungan dunia terhadap bahan bakar fosil.

“Jika kesepakatan ini tercapai, itu akan menjadi kemenangan besar bagi negara progresif dan aktivis lingkungan,” tulis laporan tersebut. Namun, hingga kini belum ada kejelasan bagaimana inisiatif transisi energi itu akan diterapkan secara konkret.

“Mandat transisi energi sudah ada. Sekarang saatnya bicara langkah konkretnya,” tegas do Lago.

Namun dari Kepulauan Marshall, Menteri Luar Negeri Kalani Kaneko mengingatkan bahwa dunia belum siap menghadapi konsekuensi sosial dan ekonomi dari peralihan besar ini. “Kami melihat masa depan dengan gejolak pasokan, perebutan sumber daya, dan aset terlantar — sementara kami yang paling terdampak justru menanggung risikonya,” ujarnya.

Bayang-bayang Trump di Meja Perundingan

Meski belum mengirim delegasi resmi, Amerika Serikat tetap menjadi “elemen tak terlihat” dalam COP30. Negara itu dipastikan keluar dari Perjanjian Paris pada 27 Januari 2026, seiring kebijakan baru pemerintahan Donald Trump yang kembali pro-bahan bakar fosil.

Kendati masih tercatat dalam Konvensi Kerangka Kerja PBB tentang Perubahan Iklim (UNFCCC), absennya AS secara formal menjadi sinyal mundurnya kepemimpinan global negara itu dalam isu iklim. “Bayangan Trump masih kuat di meja perundingan,” tulis analis iklim Amerika Latin, menyoroti bagaimana Washington kerap menghambat negosiasi multilateral terkait energi, plastik, dan emisi pelayaran.

Adaptasi: Harapan Terakhir di Tengah Krisis

Berbeda dari dua edisi sebelumnya, COP30 tak memiliki satu kesepakatan besar yang jadi sorotan utama. Namun, banyak pihak menaruh harapan pada agenda adaptasi iklim — terutama setelah badai Melissa menghantam Jamaika dan menyebabkan kerugian hingga US$4,2 miliar.

Negosiator tengah berupaya memangkas daftar indikator ketahanan iklim dari 400 menjadi 100 agar ada tolok ukur yang lebih jelas bagi kebijakan dan pendanaan global. Target sebelumnya untuk melipatgandakan dana adaptasi telah berakhir tahun ini, dan para delegasi berharap target pendanaan baru bisa disepakati sebelum konferensi ditutup.

“Kebutuhan kami untuk beradaptasi sudah melampaui kemampuan yang ada. COP kali ini harus menyepakati paket adaptasi dengan pendanaan baru sebagai pusatnya,” tegas Kaneko.

Tarik-Ulur Abadi di Tengah Planet yang Memanas

COP30 di Brasil kembali menegaskan jurang lebar antara kepentingan politik dan urgensi ilmiah. Negara maju datang dengan janji transisi bersih, sementara negara berkembang menuntut keadilan iklim yang selama ini tertunda.

Namun satu hal pasti — di tengah perang, perdagangan, dan politik energi global, iklim kini kembali menuntut tempat utama di meja dunia.