Nyoman Arya (14 tahun), dua adiknya, Ketut Sana (12) dan Wayan Sudirta (4,5). (Dok Aktual/Bobby Andalan).

Karangasem, Aktual.com – Wajahnya cerah serta senyum mengembang selalu hadir dari diri bocah 14 tahun bernama Nyoman Arya. Ary‎a merupakan bocah kelas 2 SMP. Ia selalu nampak ceria kepada tiap orang yang datang menemuinya seolah tak ada beban hidup yang dihadapinya.

Namun rupanya, Arya hidup di rumah hanya dengan dua adiknya, Ketut Sana 12 tahun dan Wayan Sudirta 4,5 tahun. Arya tiap hari menghidupi kedua adiknya tersebut. Tiap hari pula Arya harus mengajak si bungsu, Wayan Sudirta pergi ke sekolahnya.

Tak jarang Arya mengajak adiknya tersebut ke dalam kelas. Sementara adiknya yang nomor dua masih bersekolah di SD Ban kelas 5. “Kalau sekolah diajak ke dalam kelas,” kata Arya saat ditemui di rumahnya di Dusun Darmaji, Desa Ban, Kecamatan Kubu, Kabupaten Karangasem.

Ketut Madya yang masih memiliki hubungan keluarga dengan bocah malang itu menjelaskan, ayah‎ Arya telah meninggal dunia sejak lima tahun lalu. “Meninggalnya karena sesak nafas. Kalau ibunya baru dua bulan lalu menikah lagi. Waktu habis menikah tiga hari, ibunya datang ke sini mengunjungi Arya dan adik-adiknya,” kata Madya.

Nasib Arya memang malang. Sebab, begitu ibunya menikah lagi, ia dan adik-adiknya tak boleh ikut dengan keluarga barunya itu. “Ibunya waktu itu cuma nengokin saja, karena kalau nikah sama orang lain, anaknya tidak boleh ikut.”

Praktis sejak saat itu Arya harus menghidupi dua adiknya. Untuk mencari nafkah, ia menjadi kuli pemanjat pohon kelapa.‎ Dari satu pohon yang dipanjatnya, Arya mendapat upah Rp5 ribu. Dalam sehari, minimal Arya memanjat 10 pohon kelapa. “Kalau lagi banyak permintaan, bisa 20 pohon dipanjat. Habis itu biasanya dia main bola atau membantu saya menyabit rumput.”

Yang lebih miris, rumah Arya hanya terbuat dari bambu, kamar mandi dan dapur terpisah. Atapnya terbuat dari ilalang. Jangan kira ada penerangan sebab tak ada aliran listrik ke rumah Arya yang terletak di tengah Bukit Puncak Sari ini.

“Rumah ini bangunan sudah lama. Ini bantuan dari pusat. Tidak ada aliran listrik. Kalau malam Arya dan adiknya tidur di rumah saya.”

Tiap hari, Arya harus berjalan kaki sejauh dua kilometer untuk bisa sampai di sekolahnya. Jangan kira jalan di daerah tempat tinggal Arya mulus seperti jalan-jalan di kota. Tanah merah berdebu tebal dan berkelok-kelok merupakan jalan ‎yang sehari-hari dilewatinya. Tiap hari pula Arya melewati jalan curam lantaran di sisinya merupakan jurang untuk menempuh pendidikannya.

Sehari-hari, lauk pauk Arya dan kedua adiknya seringkali mie instan. “Kalau makan ya sehari tiga kali, nasi sama mie. Dimakan bareng sama adik-adik,” ujar Arya.‎

Laporan: Bobby Andalan

Artikel ini ditulis oleh:

Editor: Wisnu