Jakarta, Aktual.com – Dalam tiga bulan terakhir ini, selama menyebarnya wabah COVID-19 di Indonesia, kata yang paling populer digunakan adalah “terpapar”.

Hampir setiap hari di hampir semua media pers kita mendengar atau membaca penggunaan istilah atau kata “terpapar”.

Kini penderita COVID-19 sudah mendekati angka 100 ribu dan kata “terpapar” semakin populer saja.

Sebagai wartawan dan penulis, saya tercengang, dan bertanya-tanya apa gerangan yang dimaksud dengan kata “terpapar” itu?

Setelah membanding-bandingkan penggunaannya di banyak media, ternyata yang dimaksud dengan kata “terpapar” pada berita-berita tersebut adalah “terkena” atau “terjangkit”.

Tak hanya pers papan bawah, pers arus utama yang kabarnya begitu peduli terhadap bahasa Indonesia dan bahkan punya rubrik bahasa Indonesia juga memakai kata “terpapar”.

Kata “terpapar” misalnya digunakan dalam kalimat seperti “Nuria Kurniasih, perawat di RSUP Dr. Kariadi meninggal dunia pada Kamis (9/4/2020) karena terpapar COVID-19” atau “Sampai hari ini sudah terpapar 42.420 pasien virus corona”.

Bagaimana asal muasal proses pemakaian kata ini, saya tidak paham. Kapan awal mula pertama dipergunakan dalam konteks ini, saya juga tidak mengetahui.

Dilihat dari makna dan asal katanya, “terpapar” sama sekali tidak ada kaitannya dengan penyakit, tidak ada hubungannya dengan penularan atau terjangkit.

Kamus Umum Bahasa Indonesia (KUBI) susunan W.J.S Poerwadarminta terbitan Balai Pusataka tahun 1976 menerangkan arti kata “papar” sebagai berikut:

papar I : 1 papak; rata (tidak lancit) ; misal hidungnya —-; 2 belakang atau punggung (pisau, pedagang dan sebagainya); misal diketuk dengan —- parang;

memapar(kan); 1 menjadikan papar (rata); memepat (gigi); misal —- gigi; 2 mencuraikan (menguraikan, membentangkan); misal pendapatnya dipaparkannya dengan jelas dan terang;

paparan; uraian, curaian, keterangan atau penjelasan yang dibentangkan;
papar II +, memapar: mencari orang untuk dijadikan kelasi, prajurit dan sebagainya;
pemaparan: perbuatan (hal dan sebagainya).

Arti yang sama juga diberikan dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia yang disusun oleh Tim Penyusun Kamus Pusat Bahasa Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan tahun 2008.

Untuk terangnya, di sini dikutip arti “papar” dalam kamus yang disusun di bawah pemimpin redaksi Dendy Sugono sebagai berikut:

papar 1 a papak (tidak lancip); 2 a rata (tentang gigi) 3 a pesek; tidak mancung (tentang hidung); 4 a bagian belakang atau punggung (tentang pisau, pedang, dan sebagainya)

memapar(kan) a 1 menjadikan rata; memepat; 2 menguraikan dng panjang lebar; membentangkan: pemakalah ~ makalahnya;
pemaparan n perihal (perbuatan dan sebagainya) memaparkan;

paparan n 1 keterangan atau penjelasan yg dibentangkan; uraian; curaian; 2 Geo dasar laut yg datar dan dangkal

2papar v, memapar mencari orang untuk dijadikan kelasi (prajurit dan sebagainya);
pemaparan n perihal (perbuatan dan sebagainya) memapar.

Dari dua kamus bahasa itu, sudah terang benderang, arti kata “papar” tidak ada hubungan dengan penyakit atau penularan penyakit.

Dengan demikian, menjadi jelas penggunaan kata “terpapar” untuk memberitakan orang yang “terjangkit” atau “terkena” COVID-19 jauh panggang dari api, alias sama sekali tidak tepat. Kenapa tidak dipakai saja kata yang sudah populer seperti “terjangkit”.

Dalam dunia jurnalistik memang benar diperlukan pemakaian kata-kata yang bervariasi agar tulisan tidak membosankan. Kendati demikian, tidak berarti pilihan katanya boleh sesuka hati, apalagi kalau maknanya salah seperti pemakaian kata “terpapar” di kalangan pers akhir- akhir ini.

Sebagai wartawan senior saya banyak memberikan pelatihan pada wartawan. Dari sana saya paham, para wartawan sangat terpengaruh oleh pemakaian kata-kata atau kalimat yang sering dipakai atau beredar di kalangan pers.

Kata-kata yang lazim dipakai atau disiarkan pers akan segera menancap kuat di ingatan para wartawan dan kemudian mereka sering memakainya.

Contohnya, ketika kata “konversi” dalam bidang sepak bola dipakai, para wartawan pun berlomba-lomba mempergunakan kata itu. Misalnya dalam kalimat: “Paul Pogba mampu mengkonversi umpan matang yang diterimanya menjadi gol”.

Kebiasaan itu tidak buruk, sepanjang kata yang ditiru mempunyai arti yang tepat. Masalahnya, kata-kata yang sudah bersemayam di kepala para wartawan itu sulit diubah, padahal sering terjadi kata-kata yang dipilih justeru sangat berlainan dengan makna kalimat yang dipakai.

Hal itu dapat berlangsung belasan tahun tanpa perubahan berarti.

Kita ambil contoh kata “tukas” yang sampai sekarang masih banyak dipergunakan para wartawan tanpa menyadari kesalahan penggunaannya.

Contohnya dalam kalimat: “Saya berani jamin, yang dilakukannya sudah benar,” tukas kepala stasiun kereta api itu. Jelas benar, pemakaian kata “tukas” pada kalimat ini salah.

Boleh jadi wartawan yang menulisnya menyangka kata “tukas” pada kalimat itu memiliki arti “tegas”. Oleh karena itu setelah tanda kutip dia memakai kata “tukasnya”.

Tentu saja pemakaian kata “tukas” dalam kalimat itu pengertiannya menjadi sangat kabur, dan bahkan kontradiktif.

Lihat lah arti kata tukas dalam KUBI karya Poerwadarminta:

tukas I, menukas(i) : menuduh tidak dengan alasan yang cukup (asal menuduh saja);
tukasan: tuduhan yang tidak beralasan.
tukas II M: ulang;

bertukas-tukas : mengulang-ulang (datang dan sebagainya);
menukas : mengulang lagi (permintaan, jawab, minum obat, panggilan dan sebagainya)

tukas III: sb rotan (yang biasa dipakai untuk menjerat binatang buas).

Kata “tukas” yang digunakan wartawan dalam kalimat di atas tidak sesuai dengan satu pun makna “tukas”, yaitu menuduh sembarangan, mengulang-ulang, atau rotan penjerat.

Sampai sekarang kata “tukas” masih banyak digunakan oleh para wartawan dalam konteks yang keliru.

Biasanya setelah mendapat paparan mengenai penggunaan kata yang salah dalam pelatihan satu angkatan wartawan, peserta dapat memahaminya dan menanggalkan kebiasaan menggunakan kata yang tidak tepat atau salah.

Walaupun demikian, urusan tidak selesai. Para wartawan di luar angkatan yang ikut pendidikan masih senantiasa menggunakan kata tanpa memahami maknanya.

Ada baiknya wartawan sebelum memakai sebuah kata yang populer memeriksa lebih dulu maknanya di kamus, apa arti sebenarnya kata yang akan dipakai.

Apalagi sekarang tidak perlu repot membawa kamus bahasa Indonesia ke mana-mana karena sudah banyak kamus bahasa Indonesia dalam bentuk digital.

Wartawan sebagai salah satu mercusuar masyarakat harus berhati-hati dalam memilih kata.

*) Wina Armada Sukardi adalah wartawan senior (Antara)

Artikel ini ditulis oleh:

As'ad Syamsul Abidin