Gunung Agung berselimutkan bintang di Pos Pamantau Gunung Agung, di Desa Rendang, Senin (2/10) dinihari. Berdasarkan pantauan PVMBG, jumlah kegempaan yang terjadi terekam lebih sedikit dari hari-hari sebelumnya, kemungkinan batal meletus sangat kecil. Tapi, bisa saja Gunung Agung melanjutkan tidur panjangnya usai erupsi pada tahun 1963 alias membeku. AKTUAL/Tino Oktaviano

Karangasem, Aktual.com – Sejak ditetapkan menjadi awas, Gunung Agung mengeluarkan asap putih tipis dari dalam kawah. Pengamatan Pusat Vulkanologi dan Mitigasi Bencana Geologi (PVMBG), asap tersebut masih tipis dengan ketinggian rata-rata sekitar 50-200 meter.

Asap yang solfatara yang merupakan representasi gas di dalam perut Gunung Agung tercatat paling tinggi sekitar 600 meter pada 26 September lalu. Kepala Sub Bidang Mitigasi Pemantauan Gunung Api Wilayah Timur PVMBG Devy Kamil ‎menjelaskan mengenai fenomena asap solfatara tersebut.

“Jadi begini, di bawah Gunung Agung itu ada kawasan yang lembut, lalu ada fluida, ada zona transisi. Karena dia sudah pernah meletus, maka dia punya leher magma. Dia juga punya patahan-patahan. Ketika pergerakan magma, dia datang dari bawah. Dia bergerak terus, dia bermigrasi,” jelas Devy, Senin (2/10).

Begitu sampai di permukaan bawah leher magma, dia tertahan. Magma kemudian menggumpal di bawah leher lantaran tak memiliki saluran untuk ke luar. Sementara leher saluran magma begitu keras dan belum dapat ditembus.

“Tapi datang terus menerus tekanan. Akhirnya dia menghasilkan gelembung gas yang terpisah dari cairan. Lama-lama gelembung gas itu makin banyak dan terus bertambah. Sampai akhirnya banyak sekali dan menjadi gelembung besar,” papar dia.

Artikel ini ditulis oleh:

Wisnu