Jika sudah menjadi gelembung besar ditambah tekanan terus menerus dari bawah, Devy menjelaskan magma akan mencari sisi lemah dari Gunung Agung. “Ketika dia belum bisa lewat leher magma, akhirnya dia lewat patahan, maka akhirnya terjadi gempa. Akhirnya gempa-gempa ini muncul banyak sekali. Dia manifestasi dari pergerakan magma,” urainya.
Dari data BMKG, lokasi gempa itu berada di lokasi identik. Artinya, ada patahan di Gunung Agung yang teraktivasi. ”Sekarang pertanyaannya, selain gempa tektonik dia juga menghasilkan gempa vulkanik. Gas itu tadi kan berusaha menekan, dia naik terus sampai akhirnya nanti dangkal gitu kan. Kalau dangkal itu tu sudah di atas lima kilometer. Gempa misalnya hari ini 4 kilometer kedalamannya, nanti akan terus kecil jadi 3 kilometer, itu pemahaman salah. Magma itu satu kesatuan. Bisa jadi dia gempa di kedalaman 4 kilometer, nanti 10 kilometer dan lainnya,” kata Devy.
“Dia kan kumpulan gas. Dia kepingin ke luar. Dia berusaha terus untuk itu. Nah, sekarang kalau stiming ke atas dia terus mencari celah. Dan akhirnya September ketika dibombardir sekian banyak gempa ke luarlah asap solfatara,” tambah Devy.
Menurut Devy, bagi sebagian pendaki mungkin sudah biasa melihat asap solfatara. Namun, tidak halnya dengan Gunung Agung. Ia melihat hal itu justru suatu keanehan. Sebab, sebelum bulan Juli, Devy mengaku dari pengamatan PVMBG tak ada asap solfatara yang ke luar dari kawah Gunung Agung.
“Tapi bagi kami itu aneh. Sebelum Juli kita amati itu tidak ada. Akhirnya setelah Juli itu mulai ke luar kecil. Mulai Agustus dan September mulai rutin tapi tipis. Tapi sekarang sudah berbunyi zzzzzzz. Itu namanya stiming jet. Sudah kebayangkan seperti apa itu,” katanya menjelaskan.
Artikel ini ditulis oleh:
Wisnu