Jakarta, Aktual.com — Seorang dosen di Fakultas Hukum Universitas Islam Riau, Sri Wahyuni, mengirimkan surat kepada Presiden Joko Widodo dan Sekjen Perserikatan Bangsa-bangsa (PBB) Ban Ki Moon mengadukan soal kabut asap yang telah empat bulan mendera masyarakat Riau dan sekitarnya, agar segera bisa ditangani.

“Kami mulai apatis menunggu, kapan kami bisa terbebas dari kabut asap ini, dan sikap apatis itu juga melanda rakyat negeri ini khususnya di wilayah yang terkena kabut asap, apatis akan nasib udara yang kami hirup, dimana udara adalah sumber utama kehidupan, akan nasib anak anak kami yang tidak sekolah, akan nasib kesehatan anak anak kami untuk 20 tahun yang akan datang,” tulis dosen di fakultas Hukum Universitas Islam Riau, Sri Wahyuni, dalam suratnya, Kamis (29/10).

Surat yang dituliskan dalam tiga bahasa yakni Inggris, Jerman dan bahasa Indonesia tersebut juga dikirimkan secara terbuka melalui sosial media (Baca: Warga Riau: Genosida Sedang Bunuh Pelan-pelan 6,3 Juta Rakyat Riau).

Dalam suratnya, ibu empat anak yang tinggal di Pekanbaru, menegaskan bahwa dirinya hanya bisa mengirimkan surat kepada para pemimpin dunia dan teman-temannya terkait bencana asap yang telah terjadi selama empat bulan ini.

“Saya malu, karena tidak ada yang bisa saya lakukan kecuali hanya pasrah dan menerima nasib. Sekali lagi, saya malu sebagai seorang dosen dan pendidik, tetapi selalu ditanya oleh mahasiswa saya, apa yang harus dilakukan tentang kabut asap ini?” tulisnya.

Sri Wahyuni mengaku tidak berdaya untuk dapat menyelesaikan masalah kabut asap ini. Walau begitu, dirinya mengaku masih punya rasa ke-Indonesia-an, Nasionalisme, dan rasa percaya pada pemimpin.

“Selama 20 tahun ini bila dihitung dari tahun 1997 hingga saat ini, masih saja kami mengajukan pertanyaan yang sama setiap tahunnya, seakan akan kami ini rakyat yang tidak berdaya, mengapa tidak juga bisa pemimpin kami menyelesaikan kabut asap ini ?” tulisnya.

Dalam surat selanjutnya, Sri Wahyuni mengaku pedih hati melihat anak anak kecil terpapar tentang kabut asap ini dan memikirkan masa depan mereka untuk masa masa yang akan datang.

“Apakah paru paru mereka masih baik untuk kehidupan yang akan datang ? Kemana negara saat kami butuhkan? Mengapa usaha yang dilakukan tidak juga menyelesaikan masalah ? Apa yang salah?” paparnya.

Banyak pertanyaan yang menggelayut dibenaknya. Sri Wahyuni mempertanyakan apakah dirinya atau masyarakat sudah begitu bodohnya, sehingga harus menerima keadaan yang disebut dengan Takdir dan melakukan sholat Tobat dan Sholat minta Hujan.

“Mengapa kami rakyat yang selalu disuruh bertobat? Kenapa tidak pemimpinnya yang bertobat? Dimana salah kami sebenarnya bila itu memang kesalahan kami?”

“Kami negeri yang dikepung asap saat ini. Negeri yang betul betul dikepung asap, bukan suatu idiom lagi tapi suatu kenyataan,” tulisnya.

Lebih lanjut Sri Wahyuni merasa malu untuk mengakui bahwa masyarakat sudah terbiasa akan asap ini. Masyarakat tambahnya sudah terbiasa akan tidak adanya peran negara dalam menyelesaikan kabut asap ini.

“Padahal kami rindu akan pemimpin tersebut, kami rindu mereka akan hadir bila kami ada masalah,” tegasnya.

Artikel ini ditulis oleh: