Jakarta, Aktual.com – Perbankan syariah dan Asosiasi Bank Syariah Indonesia (Asbisindo) mendukung Rancangan Undang-Undang Pengembangan dan Penguatan Sektor Keuangan (RUU P2SK) selesai pada akhir tahun ini.

Dalam RUU tersebut, ada inisiatif perubahan kewajiban spin off bagi Unit Usaha Syariah (UUS) Bank dari sebelumnya wajib lepas dari induk pada 2023 menjadi saat porsi UUS telah capai 50 persen dari induk.

Kelompok UUS mengatakan tidak meratanya kesiapan untuk spin off. Sekretaris Jenderal Asbisindo, Herwin Bustaman menyebut, opsi pembatalan kewajiban spin off sedang terus didorong melalui RUU yang disebut Omnibus Law sektor keuangan ini.

“Kita masih sangat berharap ini disahkan sebelum akhir tahun,” katanya, di Jakarta, Senin (15/8).

Untuk diketahui, RUU P2SK memuat berbagai revisi regulasi perudang-undangan sektor keuangan secara umum. Tidak hanya regulasi perbankan, termasuk syariah, tapi juga asuransi, multifinance, fintech, hingga penguatan kelembagaan regulator seperti Otoritas Jasa Keuangan, Bank Indonesia, dan Lembaga Penjamin Simpanan.

Herwin mengungkapkan di sektor keuangan syariah, penghapusan kewajiban spin off menjadi yang paling krusial dan terus didorong. Berbagai alasan dikemukakan, mulai lagi tingkat efisiensi lebih tinggi pada UUS daripada BUS, kemudahan pengawasan, hingga kontraproduktif pada daya saing perbankan syariah.

RUU P2SK tersebut menjadi harapan baru bagi para insan perbankan syariah, khususnya UUS. Tenggat untuk melakukan spin-off dari Bank Induknya yakni pada tahun 2023 sesuai amanat UU Nomor 21 tahun 2008 tentang Perbankan Syariah.

Pembatalan tertulis pada Pasal 68 ayat 1 RUU P2SK. “Dalam hal Bank Umum Konvensional memiliki UUS yang nilai asetnya telah mencapai paling sedikit 50 persen (lima puluh persen) dari total nilai aset bank induknya, Bank Umum Konvensional dimaksud wajib melakukan Pemisahan UUS tersebut menjadi Bank Umum Syariah.

Direktur Syariah Banking PT Bank CIMB Niaga Tbk (CIMB Niaga) Pandji P. Djajanegara mengatakan RUU tersebut memang masih dalam pembahasan di Dewan Perwakilan Rakyat (DPR). Namun demikian, proses pembahasan kemungkinan bisa dipercepat.

“Yang saya dengar masih dibicarakan di level DPR dan mudah-mudahan saya denger-denger sebelum akhir tahun keluar,” ujarnya.

Amanat UU, lanjut Panji, Perbankan Syariah memang sejatinya memiliki tujuan mulia untuk meningkatkan pertumbuhan dan memperkuat perbankan syariah. Namun, berkaca dari kondisi perbankan syariah saat ini, penerapan kebijakan spin-off UUS pada 2023 dikhawatirkan kontra produktif dari tujuan tersebut.

Menilik data OJK, per Desember 2021 market share perbankan Syariah masih di kisaran 6,7 persen. Hal ini tentunya masih memiliki gap yang besar terhadap roadmap Komite Nasional Ekonomi dan Keuangan Syariah (KNEKS) pada 2024 sebesar 20 persen pangsa pasar dari keseluruhan industri keuangan syariah.

Berdasarkan kinerja lima tahun terakhir, UUS terbukti dapat berkontribusi lebih terhadap share Bank Induknya. Kontribusi rata-rata aset Top 5 UUS terhadap share Bank Induknya mencapai 14 persen.

Artinya, jika model bisnis UUS dipertahankan maka bisa diandalkan untuk mempercepat pencapaian target 20 persen aset perbankan nasional 2024. Sementara jika kewajiban spin-off diterapkan pada 2023, maka akan lahir sekitar 21 Bank Umum Syariah (BUS) baru dengan modal dan kemampuan sangat terbatas.

“Akibatnya, alih-alih akan mempercepat pertumbuhan market share sebaliknya membuat perbankan syariah tidak kompetitif,” tandasnya.

Ini dinilai bertentangan dengan arahan konsolidasi perbankan dari OJK yang mendorong penguatan modal untuk menghadapi krisis finansial di masa mendatang. Banyaknya bank perbankan syariah kecil juga menyulitkan dari segi pengawasan.

Artikel ini ditulis oleh:

Editor: Andy Abdul Hamid