Jakarta, Aktual.com – Menjelang gelaran akbar Asian Games ke-18 di Jakarta dan Palembang, Agustus mendatang, Usaha Kecil Menengah (UKM) pun tak ketinggalan ikut memeriahkannya. INASGOC sebagai pelaksana ajang ini, membagi keikutsertaaan UKM di Asian Games dalam dua bagian, yaitu yang berhak menggunakan lisensi Asian Games, dan yang tidak berhak.
INASGOC juga menyediakan lapak-lapak jualan bagi pelaku usaha kecil dan menengah (UKM) selama penyelenggaraan pesta multi-cabang olahraga tertinggi di Asia itu.
“Pelaku UKM dapat berjualan selama Asian Games di area ring tiga yaitu sepanjang jalan di sekitar komplek Gelora Bung Karno, Senayan,” kata Direktur Pendapatan, Pemasaran, dan Penjualan INASGOC Hasani Abdulgani ditulis Sabtu (2/6).
INASGOC mengimbau para pelaku UKM di Indonesia untuk tidak menggunakan segala hak cipta intelektual Asian Games seperti logo, maskot, kata Asian Games, bahkan warna-warna yang mengasosiasikan kejuaraan olahraga itu dalam produk maupun jasa mereka.
“Pelaku UKM dapat datang ke kami dan bekerja sama. Bentuk kerja sama itu beraneka ragam. Jika mereka memang ingin menggunakan lisensi Asian Games, kami akan jaga kualitas barangnya,” tutur Hasani. Namun, INASGOC juga tidak memaksakan pelaku UKM untuk mendapatkan lisensi Asian Games, karena memang harus memenuhi persyaratan tertentu.
Datangi Sendiri INASGOC
Adalah Du’ Anyam, sebuah social entrepreneurship yang mengusung peran sejumlah wirausaha muda dalam mengatasi masalah malnutrisi (kekurangan asupan gizi) yang diderita ibu dan anak yang di Kabupaten Flores NTT, mampu mendapatkan lisensi Asian Games. Du’Anyam, menggandeng para ibu dan wanita di daerah NTT untuk menganyam daun lontar sebagai satu alternatif pendapatan tambahan.
“Kami ini sekumpukan anak muda gila yang tidak tahu malu, awalnya kami datang ke Smesco, namun tak banyak informasi yang kami dapat, kami nekad datang ke INASGOC untuk tanya ini dan itu bagaimana cara menrdapatkan lisensi Asian Games ” kata Azalea Ayuningtyas (27 th), Co-Founder dan CEO Du’Anyam.
Du ‘Anyam lalu diminta menyerahkan contoh produk, bergiktu perjalanan bisnis Du’Anyam selama ini. ‘Mungkin karena bisnis yang kami tekuni ini, eco friendly dan go green, serta memberi manfaat bagi masyarakat sekitar khususnya kaum perempuan dan anak, maka Du Anyam lolos menjadi lisensi produk-produk Asian Games,’ kata Ayu.
Menanggapi hal ini, Samuel Watimena, desainer yang banyak terlibat di Smesco Indonesia mengatakan, apa yang dilakukan Du Anyam ini sangatlah menarik dan diharapkan bisa membuat isntansi pemerintah bagun untuk lebih aktif dalam mengembangkan UKM.
“Saya kagum dengan apa yang dilakukan Du Anyam ini, bahkan Ayu ini lulusan pasca sarjana Harvard University rela balik ke Indonesia untuk menekuni bisnis kecil ini namun sarat dengan aspek sosial,” kata Sammy. Kebberanian pendiri Du Anyam yang langsung mendatangi INASGOC untuk bisa mendapatkan lisensi Asian games untuk produk-produk merchanidse, layak dijadikan teladan bahwa UKM harus proaktif dalam mengembangkan kepak bisnisnya.
Ada Potensi dan Keterampilan
Ayu menceritakan, anyaman adalah budaya khas di banyak daerah di Indonesia. Salah satunya di NTT. Ibu-ibu cukup trampil karena ini warisan budaya. Sedangkan untuk bahan baku yaitu daun lontar juga tesedia melimpah. Namun mereka tak memiliki akses pasar. “Kami menggandeng para wanita di Flores ini yang selama ini menggantungkan kehidupannya dari menganyam daun lontar untuk sama-sama membangun bisnis,” ujarnya.
Lewat Du’Anyam, Ayu dan teman-temannya membantu ibu-ibu dan wanita di 20 desa di Flores untuk lebih banyak menghasilkan produk kerajinan anyaman dari daun lontar dengan tetap mempertahankan ciri khas desain tradisional. Du’Anyam menghasilkan tas, sepatu, dan beragam suvenir serta produk kerajinan berbahan daun lontar lain.
“Produk ini kami jual di beberapa resor, hotel, dan toko suvenir di Bali,” kata Ayu. Uang hasil penjualan digunakan untuk memperbaiki dan memenuhi kebutuhan pangan sehat anak-anak dan para ibu.“Tingginya angka malnutrisi di Flores disebabkan para orang tua tidak memiliki cukup uang untuk membeli makanan bergizi bagi kebutuhan sehari-hari anak dan mereka sendiri,” kata Ayu. Dan bisnis Du’Anyam hadir untuk memenuhi itu.
Ayu sadar betul, bisnis sosial yang sedang ia jalankan masih tergolong sangat kecil dan muda. “Masih banyak tantangan yang harus saya dan teman-teman hadapi agar bisnis ini menjadi makin matang,” katanya. Terutama, kata Ayu, dalam hal mencari investor untuk pendanaan. Du’Anyam membiayai aktivitasnya dari pendanaan jangka pendek dari hasil memenangkan berbagai kompetisi kewirausahaan sosial, seperti MIT Global Ideas Challenge 2014, UnLtd Indonesia Incubation profram 2014-2016, Global Social Venture Competition 2015, serta dana hibah dari Tanoto Foundation.
Tak Punya Akses Tunai
Sebagai salah satu kerajinan tradisional, anyaman memang sudah menjadi bagian dari budaya Indonesia. Selain bahannya yang alami, produk turunan dari anyaman juga sangat banyak, contohnya saja tikar, keranjang, tas, dan lain-lain. Di beberapa daerah di Tanah Air, kemampuan menganyam bahkan diajarkan secara turun-temurun.
Salah satu daerah yang penduduknya memiliki kemahiran dalam menganyam adalah Nusa Tenggara Timur (NTT). Namun sayang kerajinan ini sempat ‘terlupakan’ dan hanya ibu-ibu paruh baya yang memiliki kemampuan menganyam. Pada 2015, kerajinan menganyam ini kembali dibangkitkan oleh Hana Keraf dan kawan-kawan.
Di sana ia menemukan bahwa masalah kesehatan pada ibu dan anak cukup memprihatinkan, bahkan di sana juga merupakan wilayah dengan kasus kematian ibu dan anak tertinggi. Hal ini dipengaruhi oleh rendahnya tingkat sosial ekonomi. Meskipun pemerintah dan beberapa NGO telah menggalakan program kesehatan gratis, nyatanya ada saja gap yang membuat masyarakat tidak bisa mengakses pelayanan kesehatan.
Salah satunya adalah para ibu yang ternyata tidak memiliki uang cash untuk sehari-hari. “Untuk bisa berobat ke Puskesmas kan harus punya fotokopi KTP, nah mereka uang seribu rupiah aja untuk fotokopi nggak ada,” ujar Hana yang orang tuanya lahir di NTT.
Untuk menjawab masalah ini, dipilihlah model bisnis kewirausahaan sosial yang berkelanjutan. Ayu bersama Hanna Keraf , Melia Winata, dan Zona Ngadiman membangun sebuah social entrepreneurship bernama Du’ Anyam.“Dalam bahasa Flores, Du’ berarti ibu, sehingga Du’ Anyam bermakna ibu yang menganyam.”
Du’ Anyam adalah sebuah kewirausahaan sosial yang mengusung peran aktif dalam mengatasi masalah kesehatan ibu dan anak yang terjadi di NTT. Lewat Du’Anyam, Hanna dan teman-temannya menggandeng para ibu dan wanita di daerah NTT untuk menganyam daun lontar sebagai satu alternatif pendapatan tambahan dari sekadar berladang.
Di lini produksi, Du’Anyam memiliki dua wilayah. Pertama di NTT sebagai pusat pengolahan raw material, kemudian Jakarta sebagai kantor utama dan tempat workshop. Bahan setengah jadi berupa hasil anyaman dikirim ke Jakarta untuk diolah menjadi ragam produk, seperti tas, souvenir, dan produk kerajinan lain berbahan daun lontar.
Dari segi desain, meski menggunakan bahan alami namun produk yang dihasilkan Du’ Anyam bergaya modern dan tidak ketinggalan zaman. Hal ini juga berkat masukan dari tim Du’Anyam pada para ibu penganyam. Hana juga menambahkan, bahwa Du’Anyam tak ingin dikenal semata karena menjual kemiskinan dari NTT. “Kami ingin Du’Anyam dikenal karena memang kualitas dan desain produknya yang bagus.” Hasil produksi Du’ Anyam sebagian besar dipesan oleh hotel-hotel, dan juga dijual secara online
Ekspansi Tiga Provinsi
Meski tergolong bisnis sosial yang masih muda, namun kini Du’Anyam memiliki kurang lebih 500 ibu dan wanita penganyam dari 20 desa di NTT. Tentunya angka tersebut buah keringat mereka selama 4 tahun terakhir. Hal ini yang diamini Hanna sebagai sebuah achievement atas apa yang ia lakukan sejauh ini. Para ibu dan wanita kini sudah memiliki pendapatan lebih selain berkeringat di ladang pertanian. Di sela waktu, atau dalam kondisi mengandung, mereka dapat menganyam.
Namun, jauh sebelum semua itu tercapai, ia membagi sedikit ceritanya saat membangun Du’Anyam. Berbekal 16 pengrajin di tahun 2013, ia dan temannya terus melakukan inovasi serta mengedukasi para penganyam agar kualitas produk yang dihasilkan tetap terjaga. Dari 16 ibu-ibu pertama yang bergabung, hampir semuanya menginjak usia 40 tahun ke atas, dan kini semakin banyak perempuan muda menjadi pengrajin Du’Anyam
. “Semakin banyak perempuan muda yang ikut. Walaupun tidak bisa menganyam, justru kita lebih senang. Kita ajarkan keahlian dasar ke mereka. Selain memberdayakan perempuan, In a way kita membantu pelestarian budaya.
Dengan keberadaan Du’Anyam, perlahan keadaan ekonomi para ibu pengayam juga mengalami perbaikan.“Setelah penjualan pertama kami di bulan September 2015, peningkatan ekonomi ibu dan wanita cukup meningkat. Dari yang sebelumnya hanya bertani dengan pendapatan per tahun sekitar Rp6-8 juta, kini para ibu dan wanita bisa mendapat Rp100 ribu sampai Rp200 ribu per minggu,” tuturnya
Tidak berhenti sampai di situ. Sebagian hasil dari penjualan produk pun digunakan untuk memperbaiki dan memenuhi kebutuhan pangan sehat para ibu dan anak. “Sebagian pendapatan mereka disisihkan untuk membangun kandang ayam contohnya. Itu bertujuan untuk memberikan nutrisi protein dari telur kepada para penganyam,” jelas Ayu
Ia melanjutkan ceritanya. Perubahan lain yang dilihat seiring berjalannya Du’Anyam adalah perilaku para ibu yang kini mulai berubah. Mereka mulai berani bersuara karena sudah bisa lebih mandiri. Mendapat penghasilan lebih. “Kita lihat dari beberapa kasus, ibu-ibu kita sekarang jadi lebih percaya diri, lebih bisa mengambil keputusan untuk anak-anaknya, yang sebelumnya dipegang penuh oleh suaminya,”
Saat ini ada 2 proyek yang dijalankan Du’Anyam, yakni project bisnis dan sosial, begitu mereka menyebutnya. Untuk bisnis sosial, mereka sedang menjalankan program peningkatan gizi untuk para ibu dan wanita yang menganyam. Jika mereka menganyam di Du’Anyam, sebagian pendapatan mereka akan disisihkan untuk pembangunan kandang ayam. Kemudian, mereka juga berkolaborasi dengan program pemerintah, seperti tabungan bersalin maupun pemberian makan tambahan.
Sementara untuk proyek bisnis, Ayu dan teman-temannya sedang memikirkan ekspansi ke daerah lain untuk produk anyamnya. Tiga provinsi sudah dimulai digarap pada 2018 ini, iatu Papua tepatnya di Kabupaten Nabire, Kab Beurau di Kalimantan Timur, dan Kab Sidoarjo di Provinsi Jawa Timur. Du Anyam pun bekerja sama dengan pihak lain untuk memperluas jaringan hingga ke Lombok. Dengan ekspansi ke daerah lain, kita akan punya hasil produk yang berbeda juga. Produk kita akan lebih banyak, gak cuma daun lontar.
Artikel ini ditulis oleh:
Dadangsah Dapunta