Makassar, Aktual.com – Kalangan biro perjalanan haji dan umroh, khususnya yang berbasis di wilayah timur Indonesia cenderung tidak sepakat dengan kebijakan Arab Saudi soal penerapan aturan visa biometrik.

Asosiasi Muslim Penyelenggara Haji dan Umrah (Amphuri) menilai penerapan aturan visa biometrik cenderung prematur dan mengabaikan aspek kesiapan infrastruktur penunjang.

Ketua Amphuri, Sulampua Azhar Gazali bahkan mengatakan aturan ini juga berpotensi membuat jadwal pemberangkatan jemaah jadi berantakan.

Dia menjelaskan, aturan anyar itu mewajibkan seluruh jemaah untuk melakukan perekaman biometrik secara langsung pada kantor VHS Tasheel yang hanya ditempatkan di ibu kota provinsi.

“Persoalannya adalah, jemaah itu sebagian besar dari daerah yang jaraknya jauh dari kantor VHS Tasheel. Belum lagi jemaah mesti mengurus paspor dan beberapa persyaratan lainnya untuk umroh. Sangat memberatkan jemaah, jadwal keberangkatan bisa berantakan, ujungnya biro travel yang disalahkan,” tuturnya, Rabu (19/12).

Selain itu, aturan ini juga tidak dibarengi dengan hal-hal pendukungnya, baik penyediaan infrastruktur penunjang ataupun jaringan kantor VHS Tasheel yang bisa memudahkan jemaah mengikuti aturan visa biometrik.

Azhar pun mendesak agar otoritas Arab Saudi untuk mengkaji ulang penerapan aturan ini. Menurutnya, vis biometrik cenderung lebih mengarah memberatkan jemaah untuk mendapatkan visa dalam rangka melaksanakan ibadah umroh.

Untuk diketahui, aturan itu mewajibkan jemaah menjalani proses biometrik pada kantor layanan visa dan bio fitur Visa Facilitating Service (VFS) Tasheel di 34 kantor di Indonesia. Padahal, sebelumnya, pemeriksaan biometrik bisa dilakukan ketika jemaah umrah telah mendarat di Bandara Arab Saudi.

“Sangat memberatkan konsumen. Kondisi geografis di Sulampua yang kompleks dan luas mestinya jadi perhatian otoritas Arab Saudi. Sebagian besar jemaah sangat tidak memungkinkan jika harus menjalani perekaman biometrik di kantor VHS Tasheel,” tutur Azhar.

Menurut dia, otoritas Arab Saudi jika tetap menjalankan aturan visa biometrik maka jaringan kantor VHS Tasheel harus juga berada pada level kabupaten/kota dan tidak hanya ada pada ibu kota provinsi.

“Prinsipnya memberikan kemudahan, bukan malah memberatkan. Apalagi ini tujuannya untuk ibadah. Sebaiknya ini ditunda sembari menyediakan infrastruktur dan jaringan kantor yang ideal,” katanya.

Pada skala yang lebih mengkhawatirkan, aturan tersebut akan membuat kuantitas pergerakan jemaah umroh sedikit tertahan, padahal Sulampua terkhusus Sulsel merupakan salah satu daerah dengan volume jemaah umroh terbesar di Tanah Air.

Sebelumnya, Direktur Eksekutif Amphuri Ali Basuki Rochmad menjelaskan, pertumbuhan jumlah jemaah umrah Tanah Air sebenarnya mencapai 12—22% per tahun dalam kurun 3 tahun terakhir.

“Namun, kebijakan visa biometrik yang menggunakan pemindaian sidik jari akibatnya, pertumbuhan jemaah umrah dari Indonesia pada 1440 Hijriah [2018—2019] tidak akan setinggi periode sebelumnya [2017—2018]. Paling hanya tumbuh 10%,” ujarnya.

Selain karena ada kebijakan baru soal pengurusan visa dari Arab Saudi, lanjutnya, perlambatan jumlah jemaah umrah RI pada periode 2018—2019 dipicu oleh penguatan nilai tukar dolar Amerika Serikat (AS) terhadap rupiah, yang praktis mengerek biaya akomodasi umrah.

Berdasarkan data Kementerian Agama, jemaah umrah dalam pada 1439 Hijriah (2017—2018) mencapai 1 juta orang atau tumbuh sebesar 12% dari tahun sebelumnya yang mencapai 876.246 orang. Adapun, Indonesia adalah negara penyumbang jemaah umrah terbesar ketiga di dunia.

Tingginya pertumbuhan jemaah umrah Tanah Air dipicu oleh pembatasan kuota haji sebanyak 221.000 orang per tahun.

“Kuota haji fix dari Arab Saudi ini berdampak pada kenaikan umrah dalam 3 tahun terakhir. Sebab, kalau mau naik haji pun harus menunggu dan waktunya lebih lama,” sebut Ali.

Artikel ini ditulis oleh:

Teuku Wildan