Jakarta, Aktual.com – Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) akan menyusun platform ekonomi keumatan sesuai dengan khittah konstitusi dan khittah NU sebagai organisasi dîniyyah ijtimâ’iyyah.
Penyusunan platform tersebut akan digelar pada hari ini hingga esok. Hal ini perlu dilakukan, mengingat dari aspek ketimpangam sosial dan angka kemiskinan yang masih tinggi itu, warga Nahdkiyin paling banyak di dalamnya.
“Kita semua sadar, bahwa ekonomi merupakan pilar sekaligus tonggak untuk melecut kemandirian serta kesejahteraan warga,” ungkap Ketua Umum PBNU, KH. Said Aqil Siroj, dalam acara Rapat Pleno PBNU, di Ponpes Khas Kempek, Cirebon, Jawa Barat, Minggu (24/7).
Secara tegas, menurut Kyai Said, Muktamar NU ke-33 memang mengamanatkan pada PBNU salah satunya untuk menyusun platform ekonomi keumatan yang sesuai dengan khittah konstitusi dan khittah NU sebagai organisasi dîniyyah ijtimâ’iyyah.
Kata dia, platfom yang dimaksud tersebut adalah platform yang harus menggambarkan pandangan dan sikap NU terhadap pembangunan nasional, haluan pembangunan nasional, dan rencana kerja NU dalam menggerakan kegiatan ekonomi umat dan organisasi.
Apalagi memang berdasar data Bappenas tahun 2015, bahwa tingkat ketimpangan ekonomi dan sosial antarpenduduk (rasio gini) di Indonesia masih berada pada kisaran angka 0,413. Sementara Badan Pusat Statistik (BPS) di tahun yang sama merilis data jumlah masyarakat miskin di Indonesia masih sebesar 11,2 persen atau sekitar 28 juta penduduk.
“Jumlah tersebut masih sangat besar. Dan fakta berbicara bahwa warga NU rata-rata masih masuk ke dalam golongan 28 juta penduduk tersebut,” tegas Kyai Said.
Untuk itu, NU sebagai sebuah organisasi sosial keagamaan memiliki peran strategis dalam kehidupan umat. NU didirikan salah satunya bertujuan untuk kemaslahatan umat yang antara lain bisa ditempuh melalui jalur pemberdayaan ekonomi.
“Makanya dalam Rapat Pleno kali ini, kita usung tema ‘Meneguhkan Islam Nusantara Menuju Kemandirian Ekonomi Warga’,” jelas dia.
Kyai Said bercerita, pada 1938, NU mendirikan apa yang ketika itu disebut dengan importhandel dan exporthandel. Kedua hal itu diperuntukkan guna mengurusi kegiatan ekspor-impor atau perdagangan luar negeri. Hal ini diputuskan secara resmi di Muktamar Menes, Banten.
Kemudian setahun berlalu, atau di tahun1939, pada forum muktamar yang digelar di Magelang, sebagai sebuah upaya untuk memberi landasan dalam menjalankan ekonomi dan bisnis, NU merumuskan konsep mabadi khoiro ummah yang berisi tiga poin utama. Ketiga poin itu adalah: as-shidqu (kejujuran), alwafa bil ahdi (menepati janji), dan at-ta’awun (saling tolong-menolong).
Tiga prinsip tersebut adalah landasan yang harus dipegangi oleh warga NU dalam segala hal, utamanya menyangkut kegiatan ekonomi dan bisnis.
“Dengan tiga prinsip tersebut, turbulensi dan mekanisme berbisnis warga NU diharapkan bisa berjalan dengan lancar, stabil, dan yang paling utama adalah berkah. Apa yang disebut terakhir, yakni keberkahan, adalah tujuan paling paripurna yang dicita-citakan konseptor mabadi khoiro ummah di atas,” papar dia.
Sebagai bagian dari upaya mengembangkan dan menyempurnakan tiga pilar tersebut, lanjut Kyai Sais, pada 1940 KH. Mahfud Shiddiq yang kala itu bertindak sebagai ketua HB NU ( sekarang Ketum PBNU) menambahkan dua prinsip penyempurna yang terdiri atas: al-adalah (keadilan) dan Istiqomah (konsistensi).
NU meyakini, perekonomian bukan saja harus tumbuh, namun lebih dari itu aspek lain yang harus dicapai adalah ekonomi harus merata.
“Pertumbuhan dan pemerataan adalah dua aspek yang harus berjalan beriringan, tanpa harus menegasikan satu dengan yang lainnya,” pungkas dia. (Busthomi)
Artikel ini ditulis oleh:
Andy Abdul Hamid