Jakarta, Aktual.com — Wakil Ketua Komisi IV DPR RI dari Fraksi Partai Golkar Firman Subagyo menilai pemerintah harus melakukan evaluasi terhadap persoalan gula nasional.
Hal ini dikatakannya menanggapi dibuka kran import gula sebanyak 381 ribu ton oleh Kementerian Pertanian untuk mencukupi persedian jelang lebaran.
“Kalau kita bicara soal kebutuhan gula itu memang menjelang hari raya besar naik cukup signifikan. Tapi rendemen-rendemen di pabrik dari petani masih sangat rendah. Ini tentunya tidak boleh terjadi secara terus menerus. Karena itu, pemerintah harus mulai menginventarisasi persoalan pergulaan nasional,” ujar Firman di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Senin (13/6).
Firman menuturkan, dalam rencana kerja yang dijabarkan Kementrian Pertanian, tidak ada evaluasi terhadap kinerja tahun lalu. Misalnya, pencetakan sawah baru yang belum jelas kegunaannya, apakah untuk tebu atau tanaman pangan lainnya.
“Kita tidak pernah lihat lahan pertanian yang eksisting, yang selama ini sudah memberikan nilai tambah ekonomi bagi petani, dikonversikan dan di jual begitu saja pada investor. Nah itu di biarkan pemerintah. Artinya kalau ada target, dan lahan tidak dikendalikan kan bahaya. Termasuk tebu,”
“Karena banyak lahan pertanian yang sudah di konversi untuk area industri perumahan termasuk mall dan ruko, maka saya kira harus ada evaluasi,” tegas Wakil Ketua Baleg DPR itu.
Disamping evaluasi lahan, lanjut Firman, pemerintah juga harus mengevaluasi kesuburan tebu itu sendiri. “Karena sekarang sudah beda dengan tebu 15-20 tahun lalu. Kalau dulu tebu gede-gede sekarang kecil-kecil karena pembibitannya,” katanya.
Politikus Partai Golkar itu menegaskan, selain masalah import berasal dari kekurangan lahan, pemerintah juga jangan terlalu mudah mendirikan pabrik-pabrik baru.
“Contoh di dapil saya, lahan pertaniannya itu aja, luasnya bergerak, pabrik ditambah kan otomatis timbulkan persoalan. Persoalannya, ketika lahan tebunya tetap, pabrik nambah otomatis bahan baku perlu tambahan. Otomatis timpang. Karena produksi untuk 1 pabrik jadi dibagi-bagi. Akhirnya import lagi,”
“Jadi mata rantai nya harus dibedah kemudian persoalan di evaluasi. Nah ini tidak nampak,” imbuh Firman.
Artikel ini ditulis oleh: