Sebuah alat berat diangkut ke atas kapal kargo di Pelabuhan Rakyat Kalimas, Surabaya, Jawa Timur, Rabu (24/6). Pemerintah menganggarkan sekitar Rp20 triliun untuk membangun 500 unit kapal komersial guna memenuhi kebutuhan pelabuhan rakyat. ANTARA FOTO/Zabur Karuru/Asf/aww/15.

Jakarta, Aktual.com — Asosiasi Pemilik Kapal Nasional Indonesia meminta kepada pemerintah, dalam hal ini, Kementerian Perhubungan untuk memperkuat peran Otoritas Pelabuhan dalam mengatasi permasalahan lamanya waktu tunggu bongkar muat hingga barang keluar dari pelabuhan atau “dwelling time”.

Ketua Umum Insa Carmelita Hartoto di Jakarta, Senin (3/8), menilai seharusnya Kementerian Perhubungan membentuk satu koordinasi untuk mengatur seluruh izin yang ada di pelabuhan.

“Kemenhub seharusnya mengkoordinasikan ini menjadikan satu atap, seharusnya otoritas pelabuhan (OP) harus diperkuat untuk mengatur dan merumuskan permasalahan-permasalahan yang ada di situ,” katanya.

Carmelita menambahkan selama ini proses yang lama di pelabuhan terbentur dengan banyaknya Kementerian/Lembaga yang berperan, sementara tidak diimbangi dengan satu koordinator yang bisa mengintegrasikan secara keseluruhan.

“Semua ingin berperan, semua punya kekuatan di situ, ini yang menyulitkan anggota kita, ‘dwelling time’ ini harus ada satu koordinasi, nanti seperti Tol Laut, semua orang ingin bicara,” katanya.

Dalam kesempatan yang sama, Direktur Eksekutif Nasional Maritime Institute (Namarin) Siswanto Rusdi menilai sesuai dengan Undang-Undang Nomor 17 Tahun Tentang bahwa otoritas pelabuhan adalah instansi yang melakukan koordinasi, namun masih kekurangan sumber daya manusia (SDM).

“Dwelling Time bisa diselesaikan jika otoritas pelabuhannya cakap, tapi saat ini kita melihat kekurangan SDM dan anggaran,” katanya.

Sementara itu, Direktur Angkutan Lalu Lintas Angkutan Laut Wahyu Hidayat mengatakan saat ini masing-masing instansi di pelabuhan memiliki undang-undangnya masing-masing yang menyebabkan miskoordinasi dalam kegiatan di pelabuhan.

“Bea Cukai punya undang-undangnya sendiri, karantina juga seperti itu, jadi masih dirasa sulit untuk mengintegrasikannya,” katanya.

Dia mengatakan tahap yang paling lama dalam “dwelling time”, yakni “pre-clearance”, contohnya proses di Bea Cukai memakan waktu dari 0,5-0,6 hari, karantina dua hari.

“Harus ada ketegasan berapa hari yang dibolehkan untuk menumpuk barang itu, ingat pelabuhan itu tempat bongkar muat, bukan tempat penumpukan barang,” katanya.

Selain itu, lanjut dia, belum ada payung hukum yang menaungi kewenangan otoritas pelabuhan sebagai pusat koordinasi seluruh kegiatan yang ada di pelabuhan.

Menurut dia, Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2008 Tentang Pelayaran tidak menyebutkan otoritas pelabuhan memiliki wewenang tersebut.

“Artinya harus ada Inpres atau Kepres sebagai payung hukum wewenang OP sebagai pusat koordinasi di pelabuhan, jadi ketika ada yang melanggar ” katanya.

Artikel ini ditulis oleh: