Jakarta, Aktual.com –Stabilitas harga menjadi salah satu instrumen penting untuk mencapai target perekonomian, karenanya kehadiran pemerintah diperlukan untuk mengatur dan menjaga stabilitas pasar. Tentu hal ini sejalan dengan amanat konstitusi untuk memberikan perlindungan terhadap rakyat dan tidak membiarkan rakyat terombang-ambing pada mekanisme pasar (liberal).
Bisa dibayangkan, dalam arus perdagangan global, fluktuasi harga bergerak dengan cepat akibat dipengaruhi oleh banyak faktor. Jika rakyat didorong bertarung bebas tanpa filter atau perlindungan oleh pemerintah, maka akan terjadi ketidakpastian pasar, dan gejolak itu berimbas kepada instabilitas ekonomi nasional serta ketidakmenentuan nasib rakyat. Itulah alasan pokok kehadiran tangan pemerintah untuk mengontrol harga, terlebih harga komoditas strategis seperti Bahan Bakar Minyak (BBM) yang memang merupakan urat nadi penggerak perekonomian.
Peneliti Institute for Development of Economics and Finance (INDEF), Eko Listiyanto mengatakan setiap kali kenaikan harga BBM akan memberi kontribusi pada laju inflasi dan memukul daya beli masyarakat. Mendapati sejumlah Badan Usaha menaikan beberapa jenis produk BBM per Juli ini, Eko memperkirakan administered price akan tembus hingga 0,5 persen.
“Saya rasa administered price bulan Juli ini, dugaan saya bisa tembus 0,5 persen walaupun sudah usai lebaran. Karena selain kenaikan BBM, harus diingat, masyarakat juga menghadapi masuk sekolah, maka sumbangsi terhadap inflasi makin naik. Dari mulai biaya masuk, buku, seragam sekolah dan lainnya itu turut mengakumulasi inflasi,” kata Eko.
Sebagaimana yang dikatakan, beberapa badan usaha baru-baru ini telah menaikkan harga penjualan BBM. Khusunya pada PT. Pertamina (Persero), perusahaan plat merah ini menyesuaikan harga BBM jenis Pertamax Series dan Dex Series (Pertamax, Pertamax Turbo, Dexlite dan Pertamina Dex).
Kenaikan harga BBM ini disambut negatif oleh publik walaupun pendukung pemerintah mencoba untuk memberi penjelasan. Namun terlepas dari itu, perlu didudukkan seperti apa kebijakan dan perlindungan pemerintah untuk menjaga stabilitas harga BBM.
Inkonsistensi Kebijakan
Mengulas kembali pada awal Joko Widodo (Jokowi) dan Jusuf Kalla (JK) menjabat sebagai pasangan Presiden dan Wakil Presiden, kebijakan pemerintah mencabut anggaran subsidi energi yang pada tahun 2014 mencapai sebesar Rp315 triliun. Namun kala itu, kebijakan pemerintah tidak serta merta mencabut semua subsidi BBM, karena disadari bahwa pemerintah akan melanggar konstitusi jika tidak memberikan perlindungan dan melepaskan sepenuhnya kebutuhan pokok masyarakat terhadap mekanisme pasar.
Karenanya pemerintah menerbitkan Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 191 Tahun 2014. Dalam Perpres itu, pemerintah mengatur jenis BBM kedalam tiga kategori yakni pertama; BBM Jenis Tertentu meliputi Minyak Tanah (Kerosene) dan Minyak Solar (Gas Oil). Kedua; BBM Jenis Khusus Penugasan yaitu berupa Minyak Bensin (Gasoline) RON 88 / Premium. Ketiga adalah; BBM Jenis Umum yang mana meliputi semua jenis BBM selain BBM Tertentu dan Khusus Penugasan.
Pada ketentuannya, Pemerintah masih menyediakan subsidi untuk BBM Jenis Tertentu dan berhak menetapkan harga dan mengatur titik distribusi pada BBM Jenis Khusus Penugasan, hal ini diatur pada peraturan turunan berupa Permen ESDM Nomor 39 Tahun 2014. Walaupun begitu, pada implementasinya masyarakat tidak mendapat layanan yang optimal karena BBM Khusus Penugasan (Premium) kerap mengalami kelangkaan.
Selanjutnya, Permen ESDM Nomor 39 Tahun 2014 menyatakan untuk BBM Jenis Umum ketentuan harganya tidak diatur oleh pemerintah melainkan kewenangan korporasi atau Badan Usaha, hal ini tercantum pada Pasal 4: “Perhitungan harga jual eceran BBM Jenis Umum di titik serah, untuk setiap liter ditetapkan oleh Badan Usaha.
Atas dasar Permen 39, Badan Usaha berjalan di atas ketentuan yang ada hingga terjadi beberapa kali penyesuaian harga BBM Jenis Umum. Pada penyesuaian harga diakhir Maret 2018, sempat terjadi demonstrasi penolakan di beberapa daerah. Respon pemerintah bukannya memberikan sosialisasi secara masif kepada masyarakat tentang kebijakan pemerintah atas pengelompokan tiga jenis BBM, pemerintah memilih untuk mengontrol semua harga termasuk BBM Jenis Umum (yang tadinya merupakan kewenangan korporasi) dengan melakukan revisi keempat Permen ESDM Nomor 39 Tahun 2014 menjadi Permen ESDM Nomor 21 Tahun 2018.
Kemudian seiring pergerakan harga minyak dunia, Badan Usaha mengajukan kepada Kementerian ESDM untuk mendapat persetujuan penyesuaian harga hingga mencapai keekonomian penjualan. Pemerintah dibuat kerepotan karena pergerakan harga minyak dunia yang mempengaruhi keekonomian penjualan BBM mengalami fluktuasi secara cepat. Al hasil Permen 21 Tahun 2018 itu belum genap dua bulan, kembali direvisi dengan menerbitkan Permen ESDM Nomor 34 Tahun 2018 yang merupakan Perubahan ke 5 dari Permen ESDM Nomor 39 Tahun 2014. Berikut perubahannya.
1. Nomor 4 Tahun 2015
2. Nomor 39 Tahun 2015
3. Nomor 27 Tahun 2016
4. Nomor 21 Tahun 2018
5. Nomor 34 Tahun 2018
“ Awalnya kita mau mengawasi (Perubahan keempat), Presiden bilang, yang BBM Non Subsidi itu harus juga diawasi tentang distribusi dan kenaikannya. Dari situ kita lakukan butuh persetujuan pemerintah untuk menaikkan harga, maka keluar lah Permen 21. Lalu mereka (Badan Usaha) ngajuin-ngajuin lagi, nah kita buat lagi guide (Permen 34 Tahun 2018),” kata Dirjen Migas Kementerian ESDM, Djoko Siswanto.
Djoko menjelaskan, dalam ketentuan Permen 34 Tahun 2018; pemerintah mengembalikan kewenangan penentuan harga eceran BBM jenis Umum kepada Badan Usaha. Badan usaha dapat melakukan penyesuaian harga per satu bulan, hanya saja kenaikan harga tidak melebihi margin 10 persen dari harga dasar dan harus dilaporkan ke pemerintah. Klausul ketentuan itu disebutkan pada pasal 4 ayat 1 dan 3.
“Poin permen 21 ngajuin-ngajuin, dari pada setiap minggu, biar agak stabil kita bikin per satu bulan. Itu ngajuin minta persetujuan setiap bulan, sekarang (dengan Permen ESDM Nomor 34 Tahun 2018), ya uda deh kita kasih aturan, you jalan aja, yang penting tidak melebihi koridor ini (margin 10 persen) tapi tetap dilaporin. Mereka bikin surat, langsung jalan (naik harga), nanti kita cek begitu di atas 10 persen ya kita turunin. SOP dari kita memeriksa dalam 10 hari,” ujar Djoko.
Inkonsistensi kebijakan ini diperkirakan menjadi penyebab ketidakpahaman publik terhadap kebijakan pemerintah, hal ini bukan hanya dialami masyarakat awam, namun tak sedikit tokoh publik dan anggota DPR turut kebingungan atas kebijakan pemerintah yang berubah-ubah begitu cepat.
Kurangnya pemahaman publik atas kebijakan pemerintah mengakibatkan kepanikan tatkala terjadi penyesuaian harga BBM. Kendati gejolak itu terjadi pada BBM Jenis Umum, bukan terhadap BBM Jenis Tertentu dan BBM Jenis Khusus Penugasan, namun publik terlanjur panik dan hanya memahami bahwa harga BBM mengalami kenaikan harga.
Artikel ini ditulis oleh:
Dadangsah Dapunta