Jakarta, Aktual.com – Pengamat Energi Reforminer Institute, Komaidi Notonegoro menyambut baik revisi Peraturan Menteri (Permen) ESDM Nomor 8 Tahun 2017 menjadi Permen 52 Tahun 2017 tentang Kontrak Bagi Hasil Gross Split.
Menurutnya dengan perubahan ini telah mengakomodir beberapa aspirasi pelaku hulu migas yang memang merasakan tidak atraktif untuk mengembangkan lapangan.
Namun kendati telah menuju ke arah positif, tetap saja skema gross split tidak lebih menarik bagi investor dibanding dengan skema cost recovery.
“Saya menyambut positif perubahan Permen ini karena ada beberapa yang diakomodasi ya, jadi sudah ada split atau variabel yang menunjukkan keekonomiannya lebih baik dibanding Permen sebelumnya. Tetapi kalau dibandingkan model cost recovery, sulit dikompetisikan karena filosofinya beda,” kata Komaidi di Jakarta, ditulis Kamis (7/9).
Secara cash flow lanjut Komaidi, cost recovery lebih baik karena risikonya ada di negara yang kemudian di tahun pertama kontraktor bisa mengambil cost recovery mencapai 25% hingga 30%.
Sesungguhnya kata dia, agak dikhawatirkan terhadap perkembangan hulu migas ke depannya. Dia melihat Gross Split ini memang cukup atraktif jika diterapkan pada lapangan yang sudah berproduksi, namun pada lapangan baru akan sangat sulit terjadi karena risikonya terlalu tinggi bagi investor untuk menerapkan sistem gross split pada lapangan yang diawali eksplorasi.
Karenanya dia menyarankan agar sistem gross split diterapkan secara tidak mutlak. Dengan kata lain pemerintah mesti memberlakukan secara opsional hingga investor bisa memilih antara Gross Split dan Cost Recovery.
“Saran saya dilaksanakan secara pararel. Jadi cost recovery tetap ada dan gross split silakan dijalankan nanti akan dipilih untuk lapangan-lapangan yang memang cocok untuk model tertentu,” pungkasnya.
Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Jumat (8/9) besok akan melakukan sosialisasi dua poin penting atas perubahan Permen tersebut. Dua poin yang dimaksud yakni pemberian insentif untuk pengembangan lapangan, dan pemberian insentif lebih tinggi apabila lapangan tidak mencapai keekonomian tertentu.
Dadangsah Dapunta
Artikel ini ditulis oleh:
Dadangsah Dapunta
Arbie Marwan